Sabtu, 30 April 2016

Legenda Danau Teluk Gelam

 


Pada zaman dahulu kala, dikawasan Marga Bengkulah yang sekarang menjadi daerah Kec.Tanjung Lubuk, ada sebuah kerajaan kecil yang dipimpin seorang raja yang arif dan bijaksana. Dia adalah Raja Awang yang mempunyai permaisuri bernama Putri Rajenah, berasal dari daerah Sugi Waras keturunan Arab yang dibawa oleh orang tuanya untuk menyebarkan Agama Islam.
Raja Awang yang dikenal oleh penduduknya baik dalam istana kerajaan maupun diluar istana sebagai seorang raja yang bijaksana dan ramah tamah. Raja Awang dalam perkawinannya bersama Putri Rajenah dikaruniai seorang putra yang bergelar Pangeran karena dia adalah pewaris tahta kerajaan. Sang pangeran diberi nama Tapa Lanang.
Dalam kesehariannya, kondisi kerajaan terasa damai dan tenteram, banyak kerajaan kecil lainnya yang bergabung dengan pemerintahannya. Hasil pertanian dan perkebunan dari wilayah kekuasaan Raja Awang banyak dibawa keluar kerajaan hingga kekawasan tanah Palembang.
Ratu Putri Rajenah dikenal sebagai sosok wanita yang cantik dan dekat dengan rakyatnya. Setiap ada acara di istana dia mengharuskan untuk mengundang rakyat masuk ke istana untuk ikut bersama dengan masyarakat dalam istana kerajaan. Kecantikan Putri Rajenah tersohor kemana-mana.
Suatu hari Putri Rajenah memanggil beberapa inang pengasuh untuk membicarakan hal ihwal yang saat itu merasuki dirinya. Beliau menderita suatu penyakit, dimana penyakit yang diderita beliau semakin hari semakin parah.
Sang raja pun mengutus hulu baling kerajaan untuk mencari tabib guna mengobati penyakit sang permaisurinya. Terkumpulah tabib terkenal dari berbagai penjuru, namun tak satupun yang mampu menyembuhkan sang permaisuri.
Suatu hari ketika bercanda gurau dengan putranya si Tapang Lanang, dimana kondisi tubuhnya saat itu semakin lemas. Dia memanggil para inang untuk menggotongnya kembali masuk kamar, melihat kondisi sang putri yang lemas, para inangpun khawatir dengan kesehatan beliau, lalu disela-sela ketegangan itu sang permaisuri menarik tangan putranya yang saat itu baru berusia tujuh tahun, sang putri pun sempat melontarkan pesan baik pada putranya dan para inang.
Sang putripun berkata, "Anakku..... seandainya ibu harus dipanggil sang Khalik, kamu harus tabah menghadapi dunia yang serba fana ini, kamu jangan menjadi manusia cengeng, kamu harus berani menghadapi berbagai tantangan hidup.”
Saat itu sang raja sempat mendengar apa yang diutarakan permaisurinya. Seakan dia mengetahui bahwa istrinya sudah diambang pintu kematian, dia tidak sempat berkata apa-apa, hanya air mata menetes perlahan membasahi pipinya yang tampak kuyu karena lelah dan selalu sedih melihat kondisi permaisuri yang tak kunjung sembuh.
Suatu hari dari istana berdatangan berbunyian telukup atau bunyi pertanda bahwa diistana telah terjadi sesuatu musibah, ternyata sang permaisuri telah meninggal, semua merasa sedih dan terharu karena telah kehilangan seorang ibu yang baik, ramah dan pengasih sesama rakyat.
Menjelang 40 hari meninggalnya sang permaisuri, Raja Awang menerima undangan dari suatu kerajaan di Pulau Jawa. Karena diharuskan membawa permaisuri, maka penasehat kerajaan memberi pandangan pada sang raja agar cepat mempersunting wanita sebagai pengganti permaisuri yang telah meninggal.
Karena waktu yang mendadak, maka sang raja harus jalan-jalan keluar istana. Pada saat itulah dia menemukan seorang wanita yang dianggapnya patut untuk mendampinginya untuk memenuhi undangan para raja-raja ditanah Jawa tersebut.
Setelah dia pulang ke istana dia menceritakan hal ihwalnya tersebut kepada para penasehat. Namun dari tujuh penasehat kerajaan ada satu yang menolak raja untuk mengawini wanita yang dimaksud. Karena dia mengetahui tabiat wanita tersebut, disamping dia seorang janda, dia juga mempunya seorang putra yang sebaya dengan sang pengeran. Dia khawatir bakal ada persaingan terhadap kedua anak tersebut, namun dia kalah suara dari 6 penasehat kerajaan lainnya, akhirnya Raja Awang harus menikahi wanita tersebut.
Hari berganti hari, bulan berganti bulan, tahunpun dilalui tiada terasa, kehidupan dalam kerajaan nampak tiada perubahan, kedamaian tetap dirasakan, tanpa terasa usia perkawinan Raja Awang sudah mencapai 21 tahun.
Suatu hari, Solim putra tiri sang Raja Awang merasa iri melihat Pangeran Tapah Lanang, saudara tirinya mengenakan pakaian kebesaranan sebagai pangeran yang suatu saat dia akan menggantikan kedudukan ayahnya sebagai raja, dan dia pun mulai menyusun strategi untuk memfitnah sang raja, dia mengatakan kepada sang raja bahwa sang pangeran telah berbuat mesum dengan perempuan anak petani diluar istana, padahal sang pangeran tidak pernah keluar istana semenjak ibundanya meninggal.
Dengan memperlihatkan bukti noda darah dikain yang dikatakannya bahwa darah tersebut adalah darah keperawanan sang wanita yang dimaksudnya.
Melihat kenyataan itu, sang raja yang selama ini dikenal bijak dan arif, berubah menjadi sangat murka, dengan kasar dan kejam dia menyiksa putra kandungnya, bahkan dia mengusirnya keluar meninggalkan istana.
Sebelum Pangeran Tapah Lanang meninggalkan pintu istana, ia sempat diantar beberapa orang pengawal istana, termasuk para inang yang mengasuhnya sejak kecil. Pangeran memohon kepada hulu balang dan inang, untuk menemaninya mampir dipusara sang ibundanya. Betapa haru dan sedihnya para pengantarnya melihat sang pangeran dengan lembut mengelus pusara bundanya dengan isak tangis yang memilukan.
Lalu, sang Pangeran mengembara entah kemana dia akan pergi, berhari-hari dia menelusuri hutan belukar, akhirnya dia singgah pada sebuah talang yang sekarang disebut dengan daerah Talang Pangeran. Didaerah tersebut sang pangeran masih damai hidup sendiri karena dalam istana dia selalu bermain dengan berbagai jenis hewan, maka sang pangeran tidak merasakan kesepian, karena banyak hewan yang hidup disekelilingnya.
Suatu hari Ia berjalan meninggalkan talang tersebut untuk mencari tahu daerah lain yang dianggapnya dapat memberi kehidupan yang layak. Setelah melewati perjalanan yang jauh, sang pangeran tiba di sebuah kawasan rawa, disana dia melihat ada sebuah gubuk yang hanya disangga tiga batang tiang penyanggah.
Gubuk itu dihuni oleh seorang wanita yang dianggapnya aneh, karena setiap dia mendekati gubuk tersebut, sang penghuninya tidak pernah menampakkan wajahnya, dimana wajah itu selalu ditutupi dengan rambut yang tebal dan panjang hinggah ke tanah.
Karena ingin tahu rupa wajah sang wanita tersebut, maka sang pangeran mengambil kepingan batok kelapa yang kemudian dilemparkannya kearah gubuk yang saat itu si wanita sedang duduk di anak tangga.
Mendengar suara berdetak menerpa dinding gubuknya, tanpa sadar wanita tersebut mengibaskan rambutnya. Saat itu sang pangeran bukan main terkejutnya ketika melihat wajah si wanita betapa buruk dan menakutkan, namun tiada lain dihutan tersebut pangeran tetap mendekat, disamping dia ingin tahu secara detail siapa wanita itu, dan dia juga berniat untuk memperistrinya.
Berbulan lebih mereka hidup sebagai sahabat, namun belum pernah sang pangeran menyentuh tubuh wanita tersebut. Suatu ketika seakan ada ghaib yang membisikan pada sang pangeran agar dia mendekap sang wanita itu dari belakang, hal itupun dilakukan oleh sang pangeran, saat itu bertepatan dengan suara gemuruh halilintar yang menamparkan kemilau sinar api. Saat itu juga wanita membalikan tubuhnya menghadap kearah sang pangeran, namun rambut panjang si wanita masih menutupi wajahnya, karena persahabatan mereka berdua sudah kian akrab, tanpa segan sang pengeran mengelus rambut sang wanita dan menyibakkannya. Betapa terkejutnya sang pangeran ketika melihat wajah wanita yang dikenalnya sangat buruk dan menakutkan telah berubah menjadi wajah yang sangat cantik jelita.
Dan sang pangeran pun berlari kedekat kubangan babi yang berisi air, dan diapun mengambil air tersebut dengan belahan tempurung kelapa, dibawanya kehadapan sang wanita tersebut dan menyuruh wanita itu untuk melihat wajahnya dari air  tersebut. Ketika sang wanita melihat wajahnya dan dia pun  terkejut, karena wajahnya telah kembali baik sedia kala. Lalu si wanita tersebut mengucapkan terima kasih kepada sang pangeran.
Sesudah dia mengucapkan terima kasih ke sang pangeran, si wanita pun menceritakan masa lalunya kepada sang pangeran. Ternyata wanita tersebut adalah anak raja dari kerajaan kecil yang ada di wilayah Kuto Besi yang saat ini masuk dikawasan Lempuing.
Dia juga diusir oleh ayahnya, karena difitnah para inang pengasuh kerajaan bahwa dia (Sang Putri) telah melakukan zinah diluar pernikahan. Karena perbuatan tersebut aib bagi kerajaan, maka sang raja menyuruh si penyihir untuk merubah wajah sang putri agar menjadi buruk dan menakutkan, setelah itu sang putripun dibuang ke hutan belantara oleh si penyihir putri raja, kini wajahmu telah buruk dan menakutkan. Wajah aslimu akan kembali. Si penyihir pun berjanji, “tubuhmu disentuh oleh orang yang bukan muhrimmu, dan kecantikanmu akan kembali utuh bila lelaki yang menyentuhmu bersedia untuk mengawinimu.”
Lalu, sang putripun memberitahukan kepada sang pangeran, bahwa dirinya diberi nama oleh ayahnya Putri Gelam.
Sejak itulah mereka mengarungi bahtera kehidupan rumah tangga yang kemudian dari hasil perkawinan mereka dikaruniai dua orang anak, satu laki-laki dan satu perempuan, dan kehidupan mereka pun dipenuhi oleh kegiatan bercocok tanam. Kadangkala Pangeran Tapah Lanang membawa hasil kebun mereka ke desa-desa terdekat untuk ditukar dengan kebutuhan yang lain. Demikian keseharian mereka yang selalu disibukkan oleh kegiatan keluar masuk desa untuk menukarkan hasil kebun mereka. Hasil perkebunan dari Pangeran Talang Lanang sangat menjanjikan, hingga diketahui oleh orang lain.
Suatu hari, gubuk mereka kedatangan tamu tak diundang, untuk merampas semua hasil kebun yang berada dibawah gubuk mereka. Saat itu pangeran dan isterinya sedang sibuk menanam kelapa dikebun, sementara kedua anaknya ditinggal didalam gubuk. Setelah kedua anak itu melihat dan menyaksikan si perampok menggasak hasil kebun mereka, anak itu pun berusaha melarikan diri dan meninggalkan pondok dengan berupaya terjun dari pondok. Namun sekawanan perampok tersebut sigap, dan akhirnya anak laki-laki dari pangeran dan sang putri tertangkap, sedangkan anak perempuannya berlari sekencangnya masuk kedalam hutan.
Anak laki-laki itupun sempat meronta dan menjerit untuk meminta pertolongan, dan sang perampok dengan kasar menyiksa hingga anak tersebut tewas, dan jasadnya pun dibuang pada bekas kubangan babi yang tidak jauh dari pondok mereka.
Beberapa perampok masih ada dipondok mereka untuk menikmati apa saja yang ada dan yang bisa mereka makan. Ketika kawanan perampok sedang menikmati semua itu, sang pangeran dan istrinya pun pulang. Betapa geramnya sang pangeran ketika melihat pondoknya telah berantakan, tanpa basa-basi lagi, sang pangeran pun langsung menyerang para perampok, dan terjadilah pertarungan yang sangat sengit, sementara itu putri Gelam pun sibuk mencari dan memanggil putra putri mereka.
Satu persatu pun para perampok tumbang ditangan pangeran. Setelah semuanya mati terbunuh, pangeran ingat akan putra putrinya, diapun berlari kesana kemari sambil memanggil anak-anaknya, namun apa yang terjadi, seketika pangeran terperangah, melihat sosok putranya telah terkapar bersimbah darah.
Setelah mengetahui putranya tak bernyawa lagi, pangeranpun langsung menangis sejadi-jadinya, tanpa dihiraukannya lagi jasad putranya. Dia terhuyung kesana kemari sambil menjerit, dan akhirnya dia tersungkur pada tanah bekas kubangan babi. Tangisnya kian menjadi, air mata yang mengucur tiada henti menggenangi tanah berlubang bekas kubangan babi tempat dia tersungkur, lama-lama kian membanjiri dan menenggelamkannya. Dimana saat itu tubuh sang pangeran hanya terlihat bagian kepala saja. Saat itu istrinya berupaya untuk menarik rambut suaminya, namun seakan ada magnet yang menyeret tubuh pangeran hingga terhisap didalam genangan air yang kian membesar, dan putri Gelampun terlempar dan tersangkut pada pepohonan.
Suatu keajaiban pun terjadi, kubangan babi itu meluas hingga membentuk sebuah danau, dan munculah sosok yang menjelma seeokor ikan besar sebagai jelmaan dari tubuh sang pangeran, sementara sosok putri Gelam yang tersangkut dipepohonan menjelma sebagai seekor burung putih berleher panjang.
Tahun terus berganti, setiap bulan purnama terjadilah pertemuan antara seekor ikan besar dan seeokor burung ditepian danau tersebut, setiap habis bulan purnama pula lah selalu terdapat hamparan telur burung yang kemudian jadi santapan para pemancing.
Semenjak adanya danau tersebut, warga kampung sekitar menamakannya Danau Teluk Gelam. Danau adalah jelmaan dari kubangan babi yang digenangi air mata sang pangeran, sedangkan Teluk adalah kata dari telur dan Gelam adalah nama burung jelmaan dari si Putri Gelam, sampai saat ini danau tersebut identik dengan sebutan “DANAU TELUK GELAM” yang saat ini menjadi primadona kawasan Wisata Alam di Ogan Komering Ilir (OKI).

Kisah Ratu Agung



Kisah Ratu Agung merupakan dongeng cerita rakyat nusantara yang berasal dari Sumatra Selatan. Cerita rakyat ini berlatarkan kejadian saat Belanda hendak menduduki Palembang. Pada kisah ini diceritakan siasat licik dari penjajah Belanda dalam memenangkan pertempuran. Selain bisa mengenal seorang pahlwan yang menjadi legenda di daerah Sumatera Selatan yaitu Ratu Agung, kita juga bisa sedikit belajar sejarah bagaimana Belanda bisa menguasai Palembang yang saat ini menjadi Ibu Kota Sumatera Selatan.

Kerajaan Palembang pada zaman dahulu diperintah oleh penguasa yang bergelar Suhunan. Suhunan yang memerintah ketika itu melaksanakan pemerintahannya dengan adil dan bijaksana. Segenap rakyat Palembang menghormati, mencintai, dan mematuhi titah Suhunan.

Suatu hari Suhunan mendengarakan tibanya pasukan Belanda untuk menyerang dan menjajah Palembang. Suhunan lantas menyiagakan segenap kekuatan untuk menghadapinya. Rakyat Palembang pun bersatu padu di belakang Suhunan. Mereka tidak ingin menjadi jajahan bangsa asing yang terkenal serakah, kejam, dan sewenang-wenang. Mereka nyatakan kesanggupan mereka untuk berkorban jiwa dan raga demi negeri tercinta.

Suhunan menunjuk dan menugaskan tiga kesatria perempuan Palembang untuk membantu pertahanan Kerajaan Palembang. Ketiganya adalah Putri Kembang Mustika, Putri Darah Putih, dan Putri Iran. Ketiganya ternama kesaktian dan keperwiraannya. Suhunan memerintahkan pula bagi mereka untuk menjadi pengawal pribadinya.

Kerajaan Palembang terus memperkuat pertahanannya. Berbagai senjata telah disiagakan. Begitu pula dengan meriam-meriam telah disiapkan menghadap sungai Musi yang diperkirakan akan menjadi pintu masuk datangnya pasukan penjajah tersebut.

Benar perkiraan mereka. Pasukan Kompeni Belanda dengan menaiki kapal-kapal besar memasuki Palembang melalui sungai Musi. Kedatangannya segera disambut dengan serangan gencar. Peluru-peluru meriam beterbangan ke arah kapal-kapal pasukan Kompeni Belanda, menimbulkan kerusakan dan kehancuran. Kian gencar serangan kekuatan Kerajaan Palembang itu hingga pasukan Kompeni Belanda memutuskan untuk mundur. Bersorak-sorailah kekuatan Kerajaan Palembang mendapati mundurnya pasukan Kompeni Belanda yang berniat menjajah negeri mereka. Mereka menyangka pasukan Kompeni Belanda tidak akan berani lagi datang ke Palembang.

Perkiraan rakyat Palembang meleset, sebulan kemudian pasukan Kompeni Belanda kembali datang. Jauh lebih banyak kekuatan pasukan mereka dibandingkan kedatangan mereka yang pertama. Ketika itu kekuatan Kerajaan Palembang tidak setangguh dan sesiap seperti ketika mereka menghadapi tibanya pasukan Kompeni Belanda sebulan sebelumnya. Pasukan Kompeni Belanda dapat memporak-porandakan kekuatan Kerajaan Palembang hingga rakyat Palembang tercerai- berai dan berlarian untuk menyelamatkan diri.

Suhunan tetap bertahan dan terus menggelorakan semangat perlawanan. Begitu pula dengan Putri Kembang Mustika, Putri Darah Putih, dan Putri Iran. Ketiganya tetap berada di dekat Suhunan dan siap menangkis serangan yang mernbahayakan jiwa penguasa Kerajaan Palembang itu.


Menghadapi kekuatan pasukan Kompeni Belanda itu Putri Kembang Mustika menunjukkan kesaktian luar biasanya. Ketika peluru-peluru meriam datang berdesingan, ia bergerak sigap lagi gesit untuk menangkapnya. Kesaktian Putri Kembang Mustika itu benar-benar mencengangkan dan membuat pasukan Kompeni Belanda keheranan. Berulang-ulang peluru meriam ditembakkan, berulang-ulang pula Putri Kembang Mustika dapat menangkapnya dengan mudah. Persediaan peluru meriam pasukan Kompeni Belanda terus berkurang karena peluru-peluru yang mereka tembakkan menjadi sia-sia karena ditangkap Putri Kembang Mustika. Mereka akhirnya memilih mundur setelah peluru-peluru meriam mereka habis dan serangan balik kekuatan Kerajaan Palembang kian deras tertuju kepada mereka.

Suhunan sangat bangga dan kagum mendapati kehebatan Putri Kembang Mustika. Suhunan kemudian mengangkat Putri Kembang Mustika menjadi saudara Putri Darah Putih dan menggelari Putri Kembang Mustika dengan gelar Ratu Agung.

Dua kali berniat menundukkan dan menjajah Palembang namun dua kali itu pula mereka terpukul mundur membuat pasukan Kompeni Belanda tidak lagi berniat menyerang Palembang.
Palembang kembali aman dan damai. Suhunan kembali memerintah dengan segala keadilan dan kebijaksanaannya yang senantiasa mengutamakan kesejahteraan. Sayang, tidak semua orang Palembang senang berada dalam kedamaian itu. Salah seorang dari mereka yang tidak senang itu bahkan termasuk kerabat dekat Suhunan sendiri, adik kandung Suhunan sendiri.

Adik kandung Suhunan berniat menjadi suhunan. Ia lantas merencanakan siasat licik. Ia mengirimkan sepucuk surat ke Kerajaan Belanda. Disebutkannya kekuatan Palembang waktu itu tidak lagi tangguh dan perkasa. Jika kekuatan Kerajaan Belanda menyerang, niscaya Kerajaan Palembang akan dapat ditaklukkan. Terlebih- Iebih, ia akan membantu memperlemah kekuatan Kerajaan Palembang dari dalam. Untuk semua itu adik kandung Suhunan meminta imbalan dengan diangkat menjadi Suhunan.

Kekuatan Kerajaan Belanda segera disiagakan dan diberangkatkan menuju Palembang. Mereka telah menyiapkan siasat khusus untuk mengalahkan kekuatan Kerajaan Palembang. Mereka telah membungkus ringgit-ringgit hingga membentuk bulatan-bulatan seperti peluru-peluru meriam. Jika meriam ditembakkan, ringgit-ringgit itu beterbangan. Rakyat Palembang tentu akan berebut ringgit-ringgit itu hingga mengabaikan pertahanan mereka.

Di Palembang sendiri adik kandung Suhunan telah pula menyiapkan siasat khusus. Dengan diam-diam ia membuang peluru-peluru meriam dan menggantinya dengan buah-buah jeruk yang dibentuknya menyerupai peluru meriam.

Pasukan Kompeni Belanda akhirnya tiba di Palembang, Suhunan segera menyiagakan kekuatannya untuk menghadapi dan menghalau. Meriam-meriam disiagakan dan tak berapa lama kemudian mulai ditembakkan. Amat terperanjat para prajurit penembak meriam ketika mendapati tembakan mereka tidak berdampak apapun setelah mengena pada sasaran yang mereka bidik. Baru kemudian mereka dapati kemudian jika peluru- peluru yang mereka gunakan untuk menembak ternyata hanyalah buah-buah jeruk!

Adapun siasat yang diterapkan pasukan Kompeni Belanda berjalan sesuai rencana mereka. Ketika buntalan-buntalan berisi ringgit-ringgit itu ditembakkan, rakyat berebut mengambil ringgit-ringgit yang beterbangan dan berjatuhan. Rakyat menjadi lengah dan tidak membantu para prajurit Kerajaan Palembang yang tengah menghadapi kekuatan pasukan Kompeni Belanda. Porak-porandalah akhirnya kekuatan Kerajaan Palembang.

Menghadapi keadaan genting tersebut Putri Kembang Mustika, Putri Darah Putih, dan Putri Iran segera mengungsikan Suhunan.

Mundurnya Suhunan segera diikuti kerabat dan juga para prajurit Palembang. Istana kerajaan pun akhirnya kosong ketika pasukan Kerajaan Belanda memasukinya. Mereka hanya menemukan adik kandung Suhunan yang terlihat gembira menyambut kedatangan mereka.

Adik kandung Suhunan menghadap Raja Belanda. Katanya, “Hamba yang telah mengirim surat kepada Tuan. Hamba juga telah melemahkan pasukan Kerajaan Palembang dengan mengganti peluru-peluru meriam mereka dengan buah-buah jeruk. Bukankah serangan mereka menjadi sia-sia dan tidak berarti? Bukankah pasukan Belanda akhirnya dapat mengalahkan kekuatan Palembang dengan mudah? Itu semua karena jerih payah hamba, Tuan. Oleh karena itu hendaklah Tuan mengangkat hamba menjadi Suhunan yang baru.”

Raja Belanda mencibirkan bibirnya. “Engkau telah nyata-nyata mengkhianati saudara kandung dan juga negerimu sendiri! Engkau tega hati untuk melakukannya hanya karena keserakahan dan keinginanmu semata-mata untuk berkuasa. Maka, jika engkau kuangkat menjadi Suhunan, niscaya engkau pun pasti akan tega hati untuk mengkhianatiku di kemudian hari!”

Mati-matian adik kandung Suhunan memberikan janji-janjinya untuk senantiasa setia terhadap Raja Belanda.

“Sifatmu bukan menunjukkan sifat orang yang setia. Engkau bersifat pengkhianat. Seorang Suhunan tidak seharusnya bersifat khianat seperti dirimu itu!” jawab Raja Belanda.

Alangkah kecewanya adik kandung Suhunan mendengar jawaban Raja Belanda. Sama sekali ia tidak menduga mendapat jawaban seperti itu dari Raja Belanda. Musnahlah harapannya untuk menjadi Suhunan. Ia terjepit dan merasa sama sekali tidak berdaya. Terlebih-lebih ketika Raja Belanda memerintahkan prajuritnya untuk menangkap dirinya!

Adik kandung Suhunan yang mengkhianati kakak kandung dan juga negerinya itu pun akhirnya menemui kematiannya setelah dilaksanakan hukuman pancung pada dirinya.

Sementara Ratu Agung sendiri kembali ke kampung halamannya di daerah Sukadana setelah Suhunan memberinya izin. Warga Sukadana sangat menghormati sosok perempuan pemberani lagi sakti itu. Ratu Agung terus menetap di kampung halamannya itu hingga akhirnya menutup mata. Kepergiannya diratapi orang-orang yang mengetahui sepak terjangnya yang gagah berani ketika membela Palembang dari serangan pasukan Kompeni Belanda.

Jumat, 29 April 2016

Cindelaras


Pada Zaman Dahulu, Di Sebuah Kerajaan Jenggala. Hiduplah Seorang Raja Yang Bernama Raden Putra. Ia Mempunyai Seorang Permaisuri Yang Sangat Baik Hati, Dan Seorang Selir Yang Cantik. Namun, Kecantikan Selir Tidak Sama Seperti Hatinya. Selir Mempunyai Sifat Yang Sangat Iri Pada Permaiuri .
Kedua Istri Raja Tinggal Di Istana Yang Sangat Megah. Selir Mulai Merencanakan Kejahatan Untuk Menggantikan Posisi Permaisuri. Ia Bekerja Sama Dengan Seorang Tabib Istana, Untuk Melaksanakan Rencananya.

Suatu Hari, Selir Raja Pura-Pura Sakit. Raja Segera Memanggil Tabib. Setelah Memeriksa Keadaan Selir, Raja Pun Menanyakan Apa Yang Terjadi.

‘’ Paduka, Ada Seseorang Yang Sudah Menaruh Racun Pada Minuman Selir.’’ Jawab Tabib.
‘’ Siapa Yang Berani Melakukan Ini Kepada Selirku?’’ Tanya Sanga Raja.
‘’ Yang , Melakukan Ini Pada Ku Adalah Permaisuri Mu Sendiri. Sepertinya Permaisuri Ingin Membunuhku, Agar Kasih Sayang Baginda Hanya Kepadanya, Dan Kekuasaan Kerajaan Jatuh Ke Tangannya.’’ Jawab Selir Raja.

Mendengar Yang Di Katakana Selir, Raja Sangat Marah Dan Langsung Memerintahkan Patih Untuk Mengusir Permaisuri Yang Sedang Mengandung Dan Membunuhnya Di Hutan. Patih Pun Langsung Membawa Permaisuri Pergi Ke Hutan Belntara. Namun, Patih Yang Sangat Bijak Itu Tidak Membunuh Permaisuri. Ia Tahu Ini Rencana Jahat Selir Tersebut. Patih Pun Menangkap Seekor Kelinci.

‘’ Permaisuri, Aku Tidak Akan Membunuhmu. Namun, Hamba Akan Memberitahukan Kepada Raja, Bahwa Anda Sudah Hamba Bunuh, Dan Untuk Membuat Raja Dan Selir Tuan Putri Sudah Mati. Hamba Akan Membunuh Seekor Kelinci Ini, Dan Melumuri Darahnya Pada Selendang Milik Permaisuri Dan Pedang Hamba.’’ Ujar Sang Patih.

‘’ Aku Sangat Berterima Kasih Patih, Karena Kau Tidak Membunuhku Dan Membiarkan Aku Hidup.’’ Jawab Permaisuri.

‘’ Permaisuri, Saya Terpaksa Harus Meninggalkan Mu Di Hutan Belantara Ini Seorang Diri. Hamba Mohon Maap Karena Tidak Bisa Menemani.’’ Kata Patih.

Setelah Beberapa Bulan Permaisuri Tinggal Di Dalam Hutan, Ia Pun Melahirkan Seorang Anak Laki-Laki. Anak Itu Di Beri Nama Cindelaras. Cindelaras Tumbuh Menjadi Anak Yang Cerdas Dan Tampan. Sejak Kecil Ia Sudah Terbiasa Berteman Dengan Binatang.

Suatu Hari, Cindelaras Sedang Asik Bermain. Tiba-Tiba, Seekor Rajawali Menjatuhan Sebutir Telur Tepat Di Sebelah Cindelaras. Cindelaras Langsung Mengambil Telur Itu Dan Menetaskannya. Tiga Minggu Kemudian, Menetaslah Telur Tersebut Menjadi Seekor Anak Ayam Yang Lucu.Cindelaras Merawat Ayam Tersebut Dengan Sangat Baik. Tubuh Ayam Itu Terlihat Kuat Dan Kekar, Paruhnya Kokoh Dan Runcing Seperti Paruh Burung Rajawali. Kedua Kakinya Kekar Berotot Dan Memiliki Kuku Yang Runcing Tajam Seperti Kuku Rajawali. Namun, Suara Kokoknya Sangat Berbeda Dengan Ayam-Ayam Lainnya. Suara Kokoknya Sangat Aneh, ‘’ Kukuruyuk, Tuanku Cindelaras, Rumahnya Di Dalam Hutan Belantara, Atap Rumahnya Terbuat Dari Daun Kelapa, Ayahnya Raden Putra Raja Jenggala.” Bunyi Kokok Ayam Cendelaras.

Cindelaras Sangat Terkejut Dan Langsung Menunjukannya Kepada Ibunya. Permaisuri Pun Merasa Sangat Terkejut Mendengar Suara Kokok Si Ayam. Ia Pun Langsung Menceritakan Siapa Ayahnya Dan Mengapa Mereka Tinggal Di Dalam Hutan. Mendengar Cerita Ibunya, Cindelaras Memutuskan Untuk Pergi Ke Istana Untuk Bertemu Ayahnya.

Awalnya Ibunya Tidak Mengijinkan Cindelaras Pergi. Namun, Ia Terus Memaksa. Setelah Ibunya Mengijinkannya Pergi. Ia Langsung Berangkat Di Temani Ayam Jantannya. Namun, Di Tengah Perjalanan Cindelaras Bertemu Dengan Orang-Orang Yang Sedang Mengadu Ayam. Mereka Melihat Cindelaras Membawa Ayam Jagonya Dan Mengajaknya Ikut Menguji Kehebatan Ayamnya.
‘’ Hei Kau, Apakah Berani Adu Ayam Dengan Ayam Jago Ku Yang Kuat Ini?’’ Ujar Mereka.
‘’ Baiklah.’’ Jawab Cindelaras.

Ternyata, Ayam Jantan Milik Cindelaras Dapat Mengalahlan Lawan Setelah Beberapa Kali Di Adu. Namun, Ayamnya Tidak Dapat Di Kalahkan.
Berita Tentang Kehebatan Ayam Jantannya Cindelaras Terdengar Hingga Teling Raja Raden Putra. Raja Langsung Menyruh Hulubalangnya Mengundang Cindelaras Datang Ke Istana. Cindelaras Pun Sampai Istana.

‘’ Paduka, Hamba Menghadapmu.’’ Kata Cindelaras Dengan Sopan.
‘’ Anak Ini Sangat Tampan Dan Cerdas, Sepertinya Ia Bukan Dari Kalangan Rakyat Biasa.’’ Ujarnya Dalam Hati.

Akhirnya, Di Adulah Ayam Jantan Milik Cndelaras Melawan Ayam Jantan Milik Raja. Namun, Raja Mengajukan Satu Syarat Kepada Cindelaras. Jika Ia Kalah, Ia Harus Bersedia Menyerahkan Ayam Jantannya Dan Kepalanya Di Pancung. Namun, Jika Ia Menang. Raja Raden Putra Akan Memberikan Setengah Kekayaannya.

Dua Ekor Ayam Jantan Bertarung Dengan Sangat Gagah. Dalam Beberapa Menit, Ayam Jantan Milik Cindelaras Dapat Mengalahkan Ayam Jantan Milik Raja. Penonton Pun Bersorak Memberikan Selamat Kepada Cindelaras.

‘’ Baiklah, Aku Mengaku Kalah. Akan Ku Serahkan Setengah Kekayaan Ku Menjadi Milik Mu Cindelaras. Namun, Siapa Kamu Sebenarnya’’ Ujarnya Sang Raja.
Cindelaras, Langsung Membungkuk Dan Membisikka Sesuatu Kepada Ayamnya. Beberapa Menit Kemudian. Ayam Jantan Tersebut Mengeluarkan Suara.

“Kukuruyuk… Tuanku Cindelaras, Rumahnya Di Dalam Hutan, Atapnya Terbuat Dari Daun Kelapa, Ayahnya Raden Putra…,” Ayam Jantan Itu Berkokok Berulang-Ulang.
Raden Putra Sangat Terkejut Mendengar Suara Kokok Ayam Cindelaras.

‘’ Benarkah Itu ?’’ Tanyanya Dengan Sangat Heran Dan Penasaran.
‘’ Benar Sekali Baginda. Hamba Cindelaras, Putra Dari Permaisuri Baginda.’’ Jawabnya Dengan Tegas.
Raja Raden Putra, Langsung Memangil Patih. Patih Pun Langsung Menceritakan Kebenarannya.
‘’ Aku Sudah Melakukan Kesalahan Dan Memberikan Hukuman Kepada Permaisuri Yang Tidak Bersalah. Aku Akan Memberikan Hukuman Yang Setimpal Kepada Selir’’ Ucapnya Menyesal.

Raja Raden Putra Langsung Memeluk Cindelaras Dan Meminta Maap Atas Semua Kesalahannya Itu. Raden Putra, Patih Dan Hulubalang Langsung Pergi Ke Hutan Dan Menjemput Permaisuri.
Akhirnya Raja Raden Putra, Permaisuri Dan Cindelaras Hidup Bersama Dan Bahagia. Setelah Raden Putra Meninggal. Cinderalaslah Yang Menggantikan Ayahnya Sebagai Raja. Ia Memimpin Kerajaab Dengan Adil Dan Bijaksana.

Kisah Asal Muasal Pohon Enau



Pada zaman dahulu kala, di sebuah desa yang terletak di Tanah Karo, Sumatera Utara, hiduplah sepasang suami-istri bersama dua orang anaknya yang masih kecil. Anaknya yang pertama seorang laki-laki bernama Tare Iluh, sedangkan yang kedua seorang perempuan bernama Beru Sibou. Keluarga kecil itu tampak hidup rukun dan bahagia.

Namun, kebahagiaan itu tidak berlangsung lama, karena sang suami sebagai kepala rumah tangga meninggal dunia, setelah menderita sakit beberapa lama. Sepeninggal suaminya, sang istrilah yang harus bekerja keras, membanting tulang setiap hari untuk menghidupi kedua anaknya yang masih kecil. Oleh karena setiap hari bekerja keras, wanita itu pun jatuh sakit dan akhirnya meninggal dunia. Si Tare dan adik perempuannya yang masih kecil itu, kini menjadi anak yatim piatu. Untungnya, orang tua mereka masih memiliki sanak-saudara dekat. Maka sejak itu, si Tare dan adiknya diasuh oleh bibinya, adik dari ayah mereka.

Waktu terus berjalan. Si Tare Iluh tumbuh menjadi pemuda yang gagah, sedangkan adiknya, Beru Sibou, tumbuh menjadi gadis remaja yang cantik. Sebagai seorang pemuda, tentunya Si Tare Iluh sudah mulai berpikiran dewasa. Oleh karena itu, ia memutuskan pergi merantau untuk mencari uang dari hasil keringatnya sendiri, karena ia tidak ingin terus-menerus menjadi beban bagi orang tua asuhnya.

“Adikku, Beru!” demikian si Tare Iluh memanggil adiknya.
“Ada apa, Bang!” jawab Beru.
“Kita sudah lama diasuh dan dihidupi oleh bibi. Kita sekarang sudah dewasa. Aku sebagai anak laki-laki merasa berkewajiban untuk membantu bibi mencari nafkah. Aku ingin pergi merantau untuk mengubah nasib kita. Bagaimana pendapat Adik?” tanya Tare Iluh kepada adiknya.

“Tapi, bagaimana dengan aku, Bang?” Beru balik bertanya.
“Adikku! Kamu di sini saja menemani bibi. Jika aku sudah berhasil mendapat uang yang banyak, aku akan segera kembali menemani adik di sini,” bujuk Tare kepada adiknya.
“Baiklah, Bang! Tapi, Abang jangan lupa segera kembali kalau sudah berhasil,” kata Beru mengizinkan abangnya, meskipun dengan berat hati.
“Tentu, Adikku!” kata Tare dengan penuh keyakinan.

Keesokan harinya, setelah berpamitan kepada bibi dan adiknya, si Tare Iluh berangkat untuk merantau ke negeri orang. Sepeninggal abangnya, Beru Sibou sangat sedih. Ia merasa telah kehilangan segala-segalanya. Abangnya, Tare Iluh, sebagai saudara satu-satunya yang sejak kecil tidak pernah berpisah pun meninggalkannya. Gadis itu hanya bisa berharap agar abangnya segera kembali dan membawa uang yang banyak.

Sudah berminggu-minggu, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun ia menunggu abangnya, tapi tak kunjung datang jua. Tidak ada kabar tentang keadaan abangnya. Ia tidak tahu apa yang dilakukannya di perantauan. Sementara itu, Tare Iluh di perantauan bukannya mencari pekerjaan yang layak, melainkan berjudi. Ia beranggapan bahwa dengan memenangkan perjudian, ia akan mendapat banyak uang tanpa harus bekerja keras. Tetapi sayangnya, si Tare Iluh hanya sekali menang dalam perjudian itu, yaitu ketika pertama kali main judi. Setelah itu, ia terus mengalami kekalahan, sehingga uang yang sudah sempat terkumpul pada akhirnya habis dijadikan sebagai taruhan. Oleh karena terus berharap bisa menang dalam perjudian, maka ia pun meminjam uang kepada penduduk setempat untuk uang taruhan. Tetapi, lagi-lagi ia mengalami kekalahan.

Tak terasa, hutangnya pun semakin menumpuk dan ia tidak dapat melunasinya. Akibatnya, si Tare Iluh pun dipasung oleh penduduk setempat. Suatu hari, kabar buruk itu sampai ke telinga si Beru Sibou. Ia sangat sedih dan prihatin mendengar keadaan abangnya yang sangat menderita di negeri orang. Dengan bekal secukupnya, ia pun pergi mencari abangnya, meskipun ia tidak tahu di mana negeri itu berada. Sudah berhari-hari si Beru Sibou berjalan kaki tanpa arah dan tujuan dengan menyusuri hutan belantara dan menyeberangi sungai, namun belum juga menemukan abangnya. Suatu ketika, si Beru Sibou bertemu dengan seor ang kakek tua.

“Selamat sore, Kek!”
“Sore, Cucuku!” Ada yang bisa kakek bantu?”
“Iya, Kek! Apakah kakek pernah bertemu dengan abang saya?”
“Siapa nama abangmu?”
“Tare Iluh, Kek!”
“Tare Iluh…? Maaf, Cucuku! Kakek tidak pernah bertemu dengannya. Tapi, sepertinya Kakek pernah mendengar namanya. Kalau tidak salah, ia adalah pemuda yang gemar berjudi.”
“Benar, Kek! Saya juga pernah mendengar kabar itu, bahkan ia sekarang dipasung oleh penduduk tempat ia berada sekarang.
Apakah kakek tahu di mana negeri itu?
“Maaf, Cucuku! Kakek juga tidak tahu di mana letak negeri itu. Tapi kalau boleh, Kakek ingin menyarankan sesuatu.”
“Apakah saran Kakek itu?”

“Panjatlah sebuah pohon yang tinggi. Setelah sampai di puncak, bernyanyilah sambil memanggil nama abangmu. Barangkali ia bisa mendengarnya. Setelah menyampaikan sarannya, sang Kakek pun segera pergi. Sementara si Beru Sibou, tanpa berpikir panjang lagi, ia segera mencari pohon yang tinggi kemudian memanjatnya hingga ke puncak. Sesampainya di puncak, si Beru Sibou segera bernyanyi dan memanggil-manggil abangnya sambil menangis. Ia juga memohon kepada penduduk negeri yang memasung abangnya agar sudi melepaskannya.

Sudah berjam-jam si Beru Sibou bernyanyi dan berteriak di puncak pohon, namun tak seorang pun yang mendengarnya. Tapi, hal itu tidak membuatnya putus asa. Ia terus bernyanyi dan berteriak hingga kehabisan tenaga. Akhirnya, ia pun segera mengangkat kedua tangannya dan berdoa kepada Tuhan Yang Mahakuasa.

“Ya, Tuhan! Tolonglah hambamu ini. Aku bersedia melunasi semua hutang abangku dan merelakan air mata, rambut dan seluruh anggota tubuhku dimanfaatkan untuk kepentingan penduduk negeri yang memasung abangku.”

Baru saja kalimat permohonan itu lepas dari mulut si Beru Sibou, tiba-tiba angin bertiup kencang, langit menjadi mendung, hujan deras pun turun dengan lebatnya diikuti suara guntur yang menggelegar. 

Sesaat kemudian, tubuh si Beru Sibou tiba-tiba menjelma menjadi pohon enau. Air matanya menjelma menjadi tuak atau nira yang berguna sebagai minuman. Rambutnya menjelma menjadi ijuk yang dapat dimanfaatkan untuk atap rumah. Tubuhnya menjelma menjadi pohon enau yang dapat menghasilkan buah kolang-kaling untuk dimanfaatkan sebagai bahan makanan atau minuman.

Kamis, 28 April 2016

Legenda Danau Maninjau

Cerita Rakyat Dari Sumatra Barat Danau Maninjau



Di sebuah perkampungan di kaki Gunung Tinjau, Sumatra Barat, hiduplah 10 orang bersaudara. Mereka terdiri dari sembilan laki-laki dan satu anak perempuan. Ayah dan ibu mereka telah meninggal dunia. Anak tertua bernama Kukuban. Sementara itu, si bungsu yang merupakan satu-satunya perempuan, bernama Siti Rasani atau Sani. Karena jumlah laki-laki bersaudara itu sembilan orang, penduduk sekitar sering menyebut mereka dengan Bujang Sembilan.

Semenjak orangtua mereka meninggal dunia, mereka diasuh oleh seorang paman, yaitu Datuk Limbatang yang biasa mereka panggil Engku. Datuk Limbatang mempunyai seorang anak lelaki bernama Giran.

Cerita Rakyat Dari Sumatra Barat Danau Maninjau
Setelah menginjak dewasa, Giran dan Sani saling jatuh cinta. Pada mulanya, mereka menyembunyikan hubungan tersebut. Namun, untuk menghindari hal-hal yang tidak balk, akhirnya mereka mengungkapkan hubungan ini kepada keluarga masing masing. Kedua keluarga itu menyambut hubungan Sani dan Gani dengan suka cita.

Saat panen usai, warga di perkampungan itu melangsungkan perayaan adat berupa silat. Semua bersemangat mengikuti upacara ini, termasuk Kukuban dan Giran.
Kukuban dengan keahlian silatnya berhasil mengalahkan lawan-lawannya. Hal yang sama terjadi pada Giran. Akhirnya, keduanya bertemu pada pertandingan penentuan.

Ketika pertarungan berlangsung, keduanya mengeluarkah ke ahlian masing-masing. Kukuban sangat tajam melancarkan serangan-serangan kepada Giran. Suatu saat, ia melancarkan tendangan ke arah Giran, tetapi tendangan tersebut ditangkis dengan keras oleh Giran. Semua penonton tercengang ketika tiba-tiba Kukuban berteriak kesakitan. Ternyata, kaki Kukuban patah. la dinyatakan kalah dalam pertarungan.

Semenjak kejadian itu, Kukuban menyimpan dendam pada Giran. la tidak terima dikalahkan oleh Giran dan menyebabkan kakinya patah.

Suatu hari, Datuk Limbatang dan keluarganya datang ke rumah Bujang Sembilan untuk membicarakan kelanjutan hubungan Sani dan Giran. Di luar dugaan, Kukuban menentang hubungan adiknya dengan Giran. Terjadilah perselisihan antara Kukuban dan Datuk Limbatang.

“Sampai kapan pun aku tidak akan menyetujui pernikahan Sani dengan anak Engku. Giran sudah mempermalukanku di depan penduduk dan ia juga mematahkan kakiku!” ujar Kukuban. Usaha Datuk Limbatang membujuk Kukuban agar memberikan persetujuannya tidak membuahkan hasil.

“Anakku, Kukuban, mengapa engkau membenci Giran? Semua menyaksikan bahwa kaulah yang menyerang Giran, ketika Giran terpojok ia menangkis tendanganmu sehingga kakimu patah. Giran tidak bersalah. Engku bukan membela anak Engku, tetapi memang begitulah kejadian yang sebenarnya.”
Namun, semua sia-sia. Kukuban tetap menolak memberikan restunya. Sani dan Giran tidak bisa menikah.

Betapa sedihnya hati Sani dan Giran. Giran Ialu mengajak Sani untuk bertemu di suatu tempat membicarakan masalah ini. Keesokan harinya, mereka bertemu di sebuah ladang di pinggir sungai.
“Apa yang harus kita perbuat, Dik. Abangmu sangat tidak merestui hubungan kita,” keluh Giran.

“Entahlah, Bang. Semua keputusan ada di tangan Bang Kukuban. Dia benci, sekali kepada Abang;” isak Sani. Dengan perasaan kalut, Sani beranjak dari tempat duduknya. Tiba-tiba, sarung yang dikenakannya tersangkut di sebuah ranting berduri dan melukai kakinya hingga berdarah. Sani merintih kesakitan “Adik, kamu terluka. Abang akan bantu mengobatinya,” ujar Giran. Lalu, Giran mengambil daun-daun obat di sekitarnya dan mengoleskan ramuan yang dibuatnya ke bagian luka kekasihnya.

Mereka berdua tidak menyadari kalau mereka sedang diawasi. Ternyata, Kukuban telah memanggil warga untuk mengawasi Sani clan Giran.

Melihat Giran yang sedang mengobati luka di kaki Sani, warga mempunyai prasangka yang buruk terhadap keduanya. Sani dan Giran digiring warga untuk diadili, karena dianggap telah melakukan perbuatan yang memalukan dan melanggar etika adat.

Sidang adat memutuskan bahwa mereka bersalah dan sebagai hukumannya keduanya harus dibuang ke Kawah Gunung Tinjau agar tidak membawa malapetaka bagi penduduk.

Sani dan Giran digiring menuju puncak Gunung Tinjau. Mata mareka ditutup dengan kain hitam. Giran dan Sani masih tetap berusaha meyakinkan penduduk bahwa mereka tidak bersalah.
Di puncak Gunung Tinjau, Giran menengadahkan tangannya dan berdoa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.

“Ya Tuhan. Jika kami tidak bersalah, Ietuskanlah gunung ini sehingga menjadi pelajaran bagi mereka semua,” doa Giran sambil berurai air mata. Lalu, Sani dan Giran meloncat ke dalam kawah yang sangat panas.

Bujang Sembilan dan para penduduk merasa cemas dengan doa yang dipanjatkan Giran. Jika ternyata mereka salah menuduh, mereka akan hancur.

Tidak lama kemudian, terjadilah letusan dahsyat yang menyebabkan gempa hebat yang menghancurkan Gunung Tinjau dan pemukiman penduduk yang berada di sekitarnya.

Tidak ada satu pun yang selamat. Letusan tersebut menyebabkan terjadinya sebuah kawah yang semakin lama semakin besar, sehingga menyerupai sebuah danau. Danau tersebut disebut dengan Donau Maninjau

Legenda Pulau Kemaro



Siti Fatimah adalah putri kesayangan Raja Sriwijaga. Parasnya cantik jelita, dan sikapnya ramah pada semua orang. Tak heron, banyak pemuda yang menaruh hati dan ingin menjadikannya istri. Namun semua lamaran itu ditolak oleh Raja Sriwijaya. Raja ingin Siti Fatimah diperistri oleh saudagar kaya raya atau putra mahkota kerajaan lain yang juga kaya.

Suatu hari, seorang putra mahkota dari negeri China datang ke Kerajaan Sriwijaga. Ia datang dengan menaiki kapal yang sangat besar. Kapal itu memuat barang-barang yang akan dijual ke Kerajaan Sriwijaga. Putra mahkota itu bernama Tan Boen An. Wajahnga tampan, tubuhnya tegap dan kulitnya kuning kecokelatan.

Tan Boen An menemui Raja Sriwijaga. Ia hendak meminta izin pada Raja untuk berdagang di wilayah itu. Raja Sriwijaya dengan senang hati mengizinkannya. Dalam hati, Raja berkata, “Alangkah giatnya pemuda ini. Meskipun putra mahkota, ia tetap bekerja keras.” Raja berkhayal, akankah ia mendapatkan menantu seperti Tan Boen An?

Tan Boen An memulai usahanya dan sangat sukses. Karena bangak mendapat keuntungan, ia berniat untuk membagi sedikit keuntungannya pada Raja Sriwijaga. “Selamat pagi Baginda, soya menghadap untuk memberikan sedikit keuntungan hasil dagang saya pada Baginda,” kata Tan Boen An. Raja menerima pembagian keuntungan itu dengan senang.

Ketika mereka sedang berbincang-bincang, masuklah Siti Fatimah ke ruangan itu. Tan Boen An terkesiap, “Cantik sekali wanita ini,” bisiknya dalam hati. Dalam sekejap, ia sudah jatuh cinta pada Siti Fatimah.

Siti Fatimah merasa kikuk karena dipandangi terus oleh pria asing itu. Namun dalam hati ia sangat senang, karena ia juga jatuh cinta pada pandangan pertama. Raja mengenalkan Siti Fatimah pada Tan Boen An. Saat bersalaman, keduanya merasa tak terpisahkan lagi.

Beberapa bulan kemudian, Tan Boen An memberanikan diri untuk melamar Siti Fatimah. “Jika Baginda mengizinkan, saya bermaksud untuk mempersunting Siti Fatimah,” kata Tan Boen An.
Raja berpikir sejenak, “Hmm…. aku memang menyukaimu, dan aku tahu kalau anakku juga mencintaimu. Tapi aku ingin mengetahui keseriusanmu. Jadi, aku akan mengajukan syarat,” jawab Raja.
Raja meminta Tan Boen An untuk menyediakan sembilan guci berisi emas. “Itulah mas kawin yang aku minta darimu, aku yakin sembilan guci emas bukanlah hal yang berat bagimu,” kata raja.

Tan Boen An menyetujui permintaan tersebut. Karena itu, ia menulis surat pada orangtuanya dan menyuruh seorang utusan untuk pulang ke negeri China. “Ayah, Ibu, Ananda akan menikahi putri Kerajaan Sriwijaya. Mohon doa restu dari Ayah dan Ibu. Sebagai mas kawin, Ananda membutuhkan sembilan guci emas. Ananda berharap Ayah mengirimkannya,” demikian bunyi suratnya.

Selang beberapa waktu, utusan itu kembali dengan membawa surat balasan dari orangtua Tan Boen An. Rupanya mereka merestui rencana pernikahan tersebut dan bersedia memberikan sembilan guci emas sebagai mas kawin. Tan Boen An sangat senang. Ia mengajak Siti Fatimah dan Raja Sriwijaya menaiki kapalnya yang berlabuh di Sungai Musi. Ia ingin menunjukkan sembilan guci emas itu pada calon istri dan mertuanya.

Namun, tanpa sepengetahuan Tan Boen An, orangtuanya menutupi emas-emas itu dengan aneka sayuran dan buah-buahan. Untuk berjaga-jaga, kalau ada perompak yang menyerang kapal, emas-emas itu tak akan ditemukan. Sayang mereka lupa memberitahukan hal itu pada Tan Boen An dalam surat.
“Lihat Siti Fatimah, guci-guci ini berisi emas,” kata Tan Boen An bangga. Ia membuka salah satu guci. Tapi apa gang terjadi? Bau busuk dan menyengat tercium dari guci itu. Ketika Tan Boen An melihat ke dalam guci itu, ia hanya melihat tomat dan sawi gang sudah busuk.

Tan Boen An sangat malu. Ia membuang guci itu ke sungai. Kemudian ia membuka guci-guci gang lain, tapi semuanga sama. Ia hanga menemukan sayur dan buah yang telah busuk. Tan Boen An mulai marah, ia melempar guci-guci itu ke Sungai Musi. Tinggal satu guci yang tersisa, Tan Boen An menendang guci itu keras-keras sambil berteriak, “Ayah, Ibu, mengapa mempermalukan Ananda seperti ini?”

Pgarrr…. guci itu pecah berkeping-keping terkena tendangannga. Se- mua orang gang ada di atas kapal terkejut. Di antara sagur dan buah busuk, terlihat emas! Tan Boen An tak kalah terkejut.
Ia segera menyadari kalau semua guci gang ia lemparkan ke sungai tadi berisi emas. Tanpa pikir panjang, ia segera terjun dan berenang mengusuri Sungai Musi. Sekuat tenaga ia mencari guci-gucinga gang telah hangut itu.

Ia terus berenang jauh meninggalkan kapal sampai tubuhnga tak terlihat lagi.
Siti Fatimah cemas menunggunya. Ia berdiri di tepi kapal dan berharap Tan Boen An akan muncul. Namun yang ditunggu-tunggu tak kunjung tiba. Siti Fatimah pun memutuskan untuk menyusul Tan Boen An. Ia berpamitan pada ayahnya “Ayah, aku harus menemukan kekasihku. Jika aku tak kembali, carilah tumpukan tanah di sekitar sungai ini. Jika Ayah menemukannya, itulah kuburanku.”

Setelah berkata demikian, ia menceburkan diri ke sungai ditemani dayangnya yang setia. Raja Sriwijaya menangisi kepergian putrinya. Lama ia menunggu, tapi Putri dan Tan Boen An tak pernah kembali.
Tiba-tiba, Raja teringat pada pesan putrinya. Dan benar saja, di tepi Sungai Musi terdapat gundukan tanah. Raja Sriwijaya sangat sedih, itu berarti Siti Fatimah telah meninggal. Gundukan itu makin lama makin membesar, dan penduduk sekitar menamainya Pulau Kemaro.

Rabu, 27 April 2016

Asal Usul Banyuwangi


Dahulu kala, ada sebuah kerajaan yang dipimpin oleh Raja Banterang. Ia memerintah dengan adil dan bijaksana. Suatu saat, Raja Banterang pergi berburu dengan beberapa pengawalnya. Tiba-tiba, ia melihat seekor kijang melesat melewatinya di dalam hutan. Raja Banterang mengejar kijang tersebut, sehingga terpisah dari para pengawalnya.

Di pinggir sebuah sungai, Raja berhenti. Ia sangat heran betapa cepatnya kijang itu lari. Tiba-tiba, seorang gadis cantik menghampirinya.

“Siapakah kau? Apakah kau penunggu hutan ini?” tanya Raja Banterang.
“Namaku Surati, Paduka. Ayahku adalah raja dari Kerajaan Klungkung. Aku berada di sini karena melarikan diri dari kejaran musuh. Ayahku telah gugur dalam peperangan mempertahankan kerajaan,” kata gadis itu.

Raja Baterang merasa iba. Ia pun memboyong gadis itu ke istana. Tidak lama kemudian, mereka menikah.
Suatu hari, ketika Raja Banterang sedang pergi berburu, seorang laki-laki berpakaian compang-camping mendatangi Surati. Laki-laki itu adalah kakak kandung Surati yang bernama Rupaksa.
“Surati, tahukah kau bahwa suamimu adalah orang yang membunuh ayah kita? Kita harus bekerja sama untuk membalas dendam,” kata Rupaksa.

Surati menolak keinginan kakaknya, “Tidak Kak. Aku berutang budi kepada Raja Banterang. Ia telah menyelamatkanku. Aku tidak mau membantumu untuk membunuhnya.”
Rupaksa terus memaksa adiknya, tetapi Surati tetap tidak mau melakukannya. Laki-laki itu sangat marah kepada adiknya. Sebelum pergi meninggalkan adiknya, ia melepaskan ikat kepalanya dan memberikannya kepada Surati.

“Simpanlah ini sebagai cinderamata dariku. Letakkanlah di bawah tempat tidurmu,” kata Rupaksa.
Raja Banterang yang sedang berburu di dalam hutan tidak mengetahui kejadian tersebut. Di dalam hutan, ia bertemu dengan seorang laki-laki berpakaian compang-camping yang berjalan menghampirinya.

“Tuanku Raja Banterang. Paduka saat ini dalam bahaya. Ada yang sedang berencana membunuh Paduka, yaitu istri paduka dan orang suruhannya.”
Raja Banterang sangat terkejut, “Apa buktinya kalau istriku mengkhianatiku?”

°Sekarang kembalilah Paduka ke istana. Carilah sebuah ikat kepala yang letaknya di bawah ranjang istri Paduka. Itu adalah milik laki-laki suruhan istri Paduka yang diminta untuk membunuh Paduka.”

Semula, Raja Banterang tidak mempercayai apa yang baru saja didengarnya. Sesampainya di istana, ia mencari-cari ikat kepala yang dikatakan orang tersebut.

Ternyata benar, ia menemukan sehelai ikat kepala di bawah tempat tidur Surati. Raja Banterang marah bukan main kepada istrinya.
“Ternyata benar kata laki-laki itu! Kau sedang berencana untuk membunuhku! Ini buktinya!” kata Raja Baterang pada istrinya.
“Kanda, aku tidak mengerti apa maksudmu?”

Raja Baterang menceritakan bagaimana seorang laki-laki berpakaian kumal dan compang-camping menemuinya di hutan. Surati mengatakan bahwa itu adalah kakaknya yang bernama Rupaksa. Ia menceritakan apa yang diinginkan Rupaksa kepada suaminya. Namun, Raja Banterang tidak memercayainya.

“Kanda, aku tidak pernah berniat berkhianat. Aku rela berkorban apa pun untuk keselamatanmu. Tolong percaya kepadaku!” ujar Surat’.
Raja Banterang sudah tersulut emosinya. Ia tetap tak memercayai istrinya. Surati berlari ke tepi air terjun dan Raja Banterang mengikutinya.

“Kanda, di bawah jurang ini mengalir sungai. Aku akan menyeburkan diri ke air terjun itu. Jika air sungai menjadi jernih dan berbau wangi, berarti aku tidak bersalah! Namun, jika air sungai ini berubah menjadi keruh dan berbau busuk, berarti aku bersalah!”

Surati lalu menyeburkan diri ke dalam air terjun itu. Tak lama kemudian air sungai terlihat jernih dan mengeluarkan bau yang sangat harum. Melihat hal itu Raja Banterang segera menyadari bahwa istrinya tidak bersalah.

“Maafkan aku istriku. Ternyata kau tidak bersalah,” kata Raja Banterang. Namun, ia tidak pernah menemukan istrinya. Surati menghilang secara tiba-tiba. Ia sangat menyesal. Namun, penyesalannya tidak berarti lagi.

Sejak saat itu, tempat tersebut disebut dengan Banyuwangi. Dalam bahasa Jawa, “banyu” berarti “air” dan “wangi” berarti harum.

Malin Kundang



Cerita Rakyat Malin Kundang diangkat dari latar belakang sebuah desa nelayan di Sumatra Barat tepatnya di Pantai Air Manis, Padang Selatan. Jika sobat mengunjungi tempat tersebut, pastilah menjumpai sebuah batu yang menyerupai orang sujud. Nah batu itu yang diyakini sebagai perwujudan Malin Kundang.

Dahulu kala, tersebutlah sebuah keluarga miskin yang terdiri dari seorang ibu dan anaknya yang bernama Malin Kundang. Karena ayahnya telah meninggalkannya, sang ibu pun harus bekerja keras sendiri untuk bisa menghidupi keluarganya.

Malin adalah anak yang pintar tapi sedikit nakal. Ketika dia beranjak dewasa, Malin merasa kasihan pada ibunya yang sedari dulu bekerja keras menghidupinya. Kemudian Malin meminta izin untuk merantau mencari pekerjaan di kota besar.

“Bu, saya ingin pergi ke kota. Saya ingin kerja untuk bisa bantu ibu di sini.” pinta Malin.
“Jangan tinggalkan ibu sendiri, nak. Ibu hanya punya kamu di sini.” kata sang ibu menolak.
“Izinkan saya pergi, bu. Saya kasihan melihat ibu terus bekerja sampai sekarang.” kata Malin.
“Baiklah nak, tapi ingat jangan lupakan ibu dan desa ini ketika kamu sukses di sana” Ujar sang ibu berlinang ari mata.
Keesokan harinya Malin pergi ke kota besar dengan menggunakan sebuah kapal. Setelah beberapa tahun bekerja keras, dia berhasil di kota rantauannya. Malin sekarang menjadi orang kaya yang bahkan mempunyai banyak kapal dagang. Dan Malin pun sudah menikah dengan wanita cantik di sana. Berita tentang Malin yang menjadi orang kaya sampai lah ke ibunya. Sang ibu sangat senang mendengarnya. Dia selalu menunggu di pantai setiap hari, berharap anak si mata wayangnya kembali dan mengangkat drajat ibunya. Tetapi Malin tak pernah datang.

Suatu hari istiri Malin bertanya mengenai ibu Malin dan ingin bertemu dengan nya. Malin pun tidak bisa menolak keinginan istri yang sangat dicintainya itu. Malin menyiapkan perjalanannya tersebut menuju desanya menggunakan sebuah kapal pribadinya yang besar nan cantik. Akhirnya Malin pun datang ke desanya beserta istri dan anak buahnya.

Mendengar kedatangan Malin, sang ibu merasa sangat gembira. Dia bahkan berlari menuju pantai untuk segera melihat anak yang disayanginya pulang.

“Apa itu kamu Malin, anak ku? Ini ibu mu, kamu ingat” Tanya sang Ibu.
"Malin Kundang, anakku, mengapa kau pergi begitu lama tanpa mengirim kabar?" Katanya sambil memeluk Malin Kundang.

Sang istri yang terkejut melihat kenyataan bahwa wanita tua, bau, dekil yang memeluk suaminya, berkata:
"Jadi wanita tua, bau, dekil ini adalah ibu kamu, Malin"

Karena rasa malu, Malin Kundang pun segera melepaskan pelukan ibunya dan mendorongnya hingga jatuh.
“Saya tidak kenal kamu wanita tua miskin” kata Malin.
"Dasar wanita tua tak tahu diri, Sembarang saja mengaku sebagai ibuku." Lanjut Malin membentak.

Mendengar perkataan anak kandungnya seperti itu, sang ibu merasa sedih dan marah. Ia tidak menduga, anak yang sangat disayanginya berubah menjadi anak durhaka.
"Oh Tuhan ku yang kuasa, jika dia adalah benar anak ku, Saya mohon berikan azab padanya dan rubah lah dia jadi batu." doa sang ibu murka.

Tidak lama kemudian angin dan petir bergemuruh menghantam dan menghancurkan kapal Malin Kundang. Setelah itu, Tubuh Malin Kundang kaku dan kemudian menjadi batu yang menyatu dengan karang.

Amanat: Jadilah orang yang berbakti pada orang tua. Dan janganlah sekali-kali durhaka padanya.

Selasa, 26 April 2016

Batu Puteri Menangis

rescuetelo.blogspot.com

Tersebutlah suatu ketika di sebuah desa di Lampung,hidup seorang gadis cantik bernama Putri bersama ibunya.Mereka tinggal di sebuah rumah yang sangat sederhana.Ayah putri meninggal karena sakit. Oleh karena itu, ibunyalah yang mencari nafkah untuk hidup mereka berdua.



Putri dan ibunya memiliki sifat yang berbeda.Sang ibu adalah seorang yang sabar,rajin,dan penuh kasih sayang .Sementara Putri sebaliknya. Ia pemalas ,kasar, dan sering membentak-bentak ibunya.
“Bu, aku ingin peralatan kecantikan yang bagus dan lengkap. Aku ingin terlihat cantik,” pinta Putri suatu hari.

“Kamu tidak perlu berdandan karena kamu sudah cantik,anakku,” jawab ibunya.
Namun, Putri tidak mau tahu.Ia terus merengak dan merengek.Gadis yang mulai beranjak dewasa itu tidak pernah menyadari kehidupan mereka yang miskin.Selain sering meminta hal-hal yang di luar kemampuan ibunya, kegiatan sehari-harinya hayalah berdandan.Setiap hari Ia hanya menghabiskan waktu duduk di depan cermin.

Suatu hari kondisi iunya kurang baik. Namun karena tuntunan hidup, Ia harus tetap berdagang ke pasar.
“Temani Ibu ke pasar ya,Put? Sekali ini saja.Jika ibu tidak sakit, Ibu pasti akan pergi sendiri,” pints ibu pada Putri.

“Baiklah, tapi nanti setiba di pasar Putri langsung pulang,” jawab Putri ketus.
Akhirnya mereka berdua berangkat menuju ke pasar.Sepanjang perjalanan Putri terus-menerus menggerutu dan berjalan dengan langkah cepat meninggalkan ibunya. Sesampainya di pasar ibuya bertanya, ”Put,kenapa tadi di jalan kamu berjalan sangat cepat dan terus menjauhi Ibu?”

“Oh, biar cepat sampai saja,Bu,” jawab Putri singkar.
“Kamu malu, ya berjalan dengan Ibu?” Selidik Ibunya.
“Kalau Ibu sudah tahu, kenapa ibu masih saja mengajak AkuJ?” Jawab Putri Ketus.
“Kalau begitu kamu pulang saja. Biar Ibu yang menjaga di sini.”

Hati Ibu Putri jelas terluka dengan sikap anak satu-satunya tersebut. Ia hanya bisa berdoa agar anaknya berubah menjadi anak yang rajin dan menhormati orang tua. Menjelang siang dagangannya telah habis. Teringat janji kepada anaknya, ibu Putri segera bekemas. Ia pun segera pergi membeli peralatan kecantikan pesanan Putri ke kota.

“Ini pesananmu, Put.” Ucap Ibu.
Putri segera membuka bungkusan tersebut. Namun setelah di buka, Ia menjadi marah.
“Mengapa peralatan kecantikannya seperti ini? Aku mau peralatan yang bagus dan mahal, seperti yang ada di kota,” bentak Putri.

“Ini juga bagus , Put. Lagipula Ibu tidak kuat jika harus pergi ke kota,” jawab Ibu dengan suara menahan tangis.
“Pokoknya aku tidak mau tahu. Ibu harus membelinya ke kota,” ujar Puttri setengah memerintah ibunya.

Sambil melangkahkan kaki keluar rumah, hati Ibu Putri menjerit dan berdoa agar Tuhan YME memberikan pelajaran kepada anaknya. Setelah Ibunya pergi, Putri segera duduk di depan cermin mencoba peralatan kecantikan tersebut. Ia terus menerus mempercantik wajahnya. Namun, tiba-tiba ia merasakan sesuatu yang aneh pada kakinya. Ketika melihat kakinya ia pun menjerit.

“Ibuuuuuuuuuuuuuuuuu!” Ternyata kaki Putri telah berubah menjadi batu. Ia menangis dan terus menerus memanggil ibunya. Saat itu ia baru tersadar jika selama ini ia telah banyak berbuat salah pada ibunya.Namun, seperti pepatah “ Penyelan di akhir tidak ada gunanya”. Lama kelamaan tubuh Putri berubah menjadi batu.

Konon sampai sekarang batu itu masih berada di tempatnya. Batu itu di sebut batu Puteri Menangis karena batu tersebut berbentuk seperti seorang gadis yang sedang duduk dan kadang-kadang terlihat air mengalir dari ujung matanya seperti air mata.

Asal Usul Danau Singkarak

 
 
 Di sebuah desa yang terletak di Sumatra Barat, hiduplah Pak Buyung, istri, dan seorang anak yang bernama Indra. Mereka tinggal di sebuah gubuk kecil di pinggir laut.
Sehari-hari, Pak Buyung dan istrinya mengumpulkan hasil-hasil hutan dan menangkap ikan di laut untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Setiap pagi, mereka mencari manau, rotan, dan damar, kemudian menjualnya di pasar. Jika musim ikan tiba, mereka pergi ke laut untuk menangkap ikan dengan menggunakan jala, pancing, atau bubu.
Ketika sudah berusia 10 tahun, Indra mulai diajak membantu orangtuanya ke hutan dan laut. Ia anak yang rajin dan tidak pernah mengeluh. Ayah dan ibunya sangat bangga kepadanya. Hanya satu hal yang membuat mereka resah, yaitu nafsu makan Indra yang sangat besar. Sekali makan, ia biasa menghabiskan setengah bakul nasi dan beberapa piring lauk.
Suatu saat, tibalah musim paceklik. Hasil hutan dan hasil laut semakin sulit didapat. Keluarga ini menyantap ubi dan talas sebagai pengganti nasi. Ternyata, musim paceklik kali ini berlangsung lama, sehingga mereka semakin sulit mendapatkan bahan makanan. Mereka harus menahan lapar setiap harinya. Lama-kelamaan, keadaan ini membuat mereka menjadi lebih peduli pada diri sendiri daripada kepada anaknya.
Suatu hari, Indra mengeluh perutnya sangat lapar. Sudah berhari-hari mereka hanya makan ubi bakar. Ia menangis dan mengadu kepada ayahnya. “Ayah, aku lapar sekali. Bisakah ayah beri aku makanan?” rengeknya. “Anak malas! Jika kamu lapar, pergi sana mencari manakan sendiri di hutan atau di laut!” ujar ayahnya.
Sang ibu mencoba membela Indra, karena Indra masih kecil. Namun, ayahnya tetap bersikeras agar Indra mencari makan sendiri. Berkat bujukan   ibunya, Indra pun berangkat mencari makan menuju hutan di Bukit Junjung Sirih.
Sebelum berangkat, Indra terlebih dulu memberi makan ayam piaraannya yang bernama Taduang. Ayam tersebut sangat setia kepada Indra. Setiap kali Indra datang atau pulang ke rumah, ia selalu berkokok menyambutnya.
Dari pagi sampai siang hari, Indra pergi mencari makanan ke hutan dan ke laut. Namun sampai siang hari, tak sedikit pun didapatinya makanan untuk mengisi perutnya yang lapar. Maka, ia pun kembali pulang.
Keesokan harinya, sang ayah kembali menyuruhnya pergi mencari makanan. Sementara ayah dan ibunya hanya tidur-tidur di rumah. Mereka seperti sudah pasrah terhadap keadaan. Sampai sebulan keadaan ini berlangsung dan Indra merasa tubuhnya sangat lelah.
Suatu hari, ketika Indra sedang mencari makan ke laut, ibunya berhasil mendapatkan pensi (sejenis kerang yang ukurannya kecil), hasil tangkapannya bersama beberapa tetangga.
“Apa itu, Bu?” tanya suaminya.
Ibu Indra yang sedang mencuci bahan makanan mengatakan bahwa pensi sangat enak jika digulai. Ia lalu memasak gulai   pensi, aromanya membuat perut sang ayah semakin lapar.
“Wah, sedap sekali aromanya, Bu. Apakah ini cukup untuk kita bertiga? Ibu kan tahu Indra makannya banyak sekali. Rasanya tidak cukup,” kata sang ayah.
“Lalu bagaimana, Pak?”
“Begini saja, kita makan saja berdua selagi Indra pergi ke laut. Jika ia kembali, kita sembunyikan lauk ini. Si Taduang pasti akan berkokok jika Indra datang.”
Akhirnya, Pak Buyung dan istrinya menyantap gulai pensi tersebut dengan sangat lahap. Namun belum selesai mereka makan, si Taduang berkokok. Suami istri ini segera merapikan makanan dan menyembunyikannya di bawah tempat tidur. Ketika Indra masuk ke dalam rumah, ia melihat kedua orangtuanya sedang duduk-duduk bersantai.
“Maaf Ayah, aku tidak mendapatkan ikan sama sekali,” kata Indra.
“Jika kau tidak mendapatkan ikan, apa yang bisa kau makan?” kata Pak Buyung.
“Aku lelah sekali, Ayah. Bolehkan aku makan?”
“Baiklah kau boleh makan, tetapi kau harus mencuci ijuk ini terlebih dahulu hingga menjadi putih,” ibunya sambil menyodorkan seikat ijuk yang baru saya dibawa Pak Buyung dari hutan.
Indra pergi ke sungai untuk mencuci ijuk. Sekian lama ia mencuci, tetapi warna ijuk itu tidak bisa berubah. Kasihan Indra, ia tidak tahu bahwa ijuk tersebut memang berwarna hitam dan tidak akan bisa dijadikan putih meskipun dicuci. Ia tidak tahu bahwa ayah dan ibunya sedang meneruskan menyantap makanan dengan lahapnya di rumah.
Merasa tubuhnya sudah sangat lelah, Indra lalu kembali ke rumah. Sampai di rumah, ia pelan-pelan masuk ke dapur. Dengan sangat terkejut, ia melihat ayah dan ibunya sedang tertidur kekenyangan di dapur dengan sisa-sisa piring makan berserakan di sekitarnya. Tidak ada lagi makan yang tersisa.
Indra sangat sedih dengan apa yang dilihatnya. Ia tidak menyangka orangtuanya telah membohonginya. Dengan air mata menetes di pipinya, ia berjalan keluar dan menangkap ayam kesayanganya si Taduang. Mereka lalu duduk di sebuah batu di samping gubuk tempat tinggal Indra. 
“Ayah dan ibu sudah membohongiku, Taduang. Aku sangat sedih. Lebih baik aku pergi, karena ternyata mereka tidak menyayangiku,” isak Indra.
Taduang berkokok sebagai tanda bahwa ia mengerti perasaan tuannya. Ayam itu lalu mengepakkan sayapnya seolah-olah memberi tanda kepada Indra.
Indra berpegangan pada kaki Taduang. Lalu, ayam itu terbang perlahan dengan Indra yang bergantung pada kakinya. Ternyata, batu tempat mereka duduk itu terbawa di kaki Indra. Semakin ke atas batu tersebut semakin membesar dan menjadi berat. Taduang tidak lagi kuat terbang membawa Indra dan batu besar itu, Akhirnya, Indra menendang batu tersebut hingga jatuh ke bumi dan menghantam sebuah bukit yang letaknya di dekat lautan. Hempasan batu tersebut membuat lubang yang memanjang, Dengan cepat air langsung mengaliri lubang tersebut sehingga membentuk aliran sungai.
Menurut cerita, aliran tersebut adalah asal-usul terbentuknya Sungai Ombilin yang mengalir sampai Riau. Kemudian, air laut menjadi menyusut membentuk sebuah danau yang kemudian dinamakan Danau Singkarak.
Sementara itu, Indra dan ayam kesayangannya tidak diketahui keberadaannya.