Pada kisah ini terlihat bahwa cinta kasih seorang Ibu tidak
ada batasnya. Seorang Ibu mau mengorbankan dirinya untuk keselamatan dan
kebahagiaan anak-anaknya. Dongeng Tentang
Legenda : Atu Belah Atu Bertangkup merupakan cerita rakyat dari Nangroe
Aceh Darussalam. Cerita rakyat nusantara ini sangat terkenal di Nangroe
Aceh Darussalam, dan dikisahkan dari mulut ke mulut. Penasaran dengan
cerita lengkapnya? Yuk kita ikuti bersama.
“Bu, aku pergi berburu dulu. Siapa tahu hari ini aku mendapat rusa
untuk makanan anak-anak kita,” kata seorang pria pada istrinya. Istrinya
mengangguk. “Berhati-hatilah, jangan sampai terluka,” jawabnya.
Keluarga itu tinggal di sebuah desa di Tanah Gayo, Aceh. Mereka
dikaruniai dua anak yang masih kecil. Mereka amat miskin, sehingga
kadang dalam sehari mereka tak bisa makan dengan layak. Untuk persediaan
makan, kadang sang Ayah menangkap belalang yang banyak berkeliaran di
kebun. Belalang itu lalu disimpan dalam lumbung, bersama persediaan padi
mereka. Sang Ayah selalu mengingatkan istrinya untuk selalu menutup
pintu lumbung. Jangan sampai belalang-belalang yang ia kumpulkan dengan
susah payah itu terbang keluar.
Setelah sang Ayah pergi, si Ibu pun bermain-main dengan kedua
anaknya. Anaknya yang sulung sudah agak besar, sedangkan yang kecil
masih belajar berjalan. Hari semakin siang, tapi Ayah tak kunjung
pulang. “Bu… aku lapar,” rengek si Sulung. “Tunggulah sebentar lagi,
Nak. Ayahmu akan segera pulang membawa daging rusa. Kita bisa makan
sepuasnya.” jawab Ibu. Si Sulung pun diam. Dalam hati ia berharap,
semoga perkataan ibunya benar.
Namun setelah lama menunggu, Ayah tak kunjung pulang. Si Sulung
merengek lagi, “Bu… aku benar-benar lapar. Gorengkan saja beberapa
belalang untukku.” Ibu menuruti permintaan anaknya itu. Ia sudah hampir
beranjak ke lumbung untuk mengambil belalang, tiba-tiba si Bungsu
menangis. Rupanya si Bungsu ingin menyusu.
Sambil memangku anak bungsunya, Ibu berkata pada si Sulung, “Ambillah
beberapa belalang agar Ibu goreng. Jangan lupa untuk menutup pintu
lumbungnya, ya.” Si Sulung segera menuju lumbung. Kriiettt…. suara pintu
lumbung dibuka. Dengan hati-hati ia melangkah dan mulai mencari
belalang yang bersembunyi.
“Aha… itu mereka,” teriaknya ketika melihat beberapa belalang be terbangan.
“Hap… hap… hap…” dengan sigap si Sulung berusaha menangkap belalang
itu. Namun aneh, beberapa saat kemudian, belalang-belalang itu sudah tak
tampak lagi. Si Sulung heran, kemana belalang-belalang itu? Bukankah
tadi mereka masih terbang di sini?
Jantung si Sulung berdegup kencang. Pintu lumbung terbuka lebar! Ia
lupa menutup pintu. “Aduh… mengapa aku begitu bodoh? Sekarang
belalangnya kabur semua, Ayah dan Ibu pasti akan memarahiku.” Si Sulung
terduduk lemas. Ia tak berani pulang ke rumah.
Di rumah, Ibu menunggu si Sulung. “Mengapa lama sekali? Ada apa
dengannya?” tanya Ibu dalam hati. Ibu kemudian menyusul ke lumbung.
Dilihatnya pintu lumbung terbuka dan tampak si Sulung sedang duduk
menangis.”Ada apa, Nak?Apa yang terjadi?” tanya ibunya cemas.
“Belalang-belalang kita terbang keluar semua, Bu. Aku lupa menutup
pintunya,” jawab si Sulung sambil terus terisak.
Ibunya menghela napas. Suaminya pasti akan marah besar mengetahui hal
ini. Namun semuanya sudah terjadi. Waktu tak bisa diputar kembali.
“Sudah… sudah… ayo kita pulang. Biar Ibu yang menjelaskan pada Ayah.”
Sesampainya di rumah, Ibu menyuruh si Sulung untuk makan. Hanya nasi
saja, tanpa lauk pauk. Sambil memandangi kedua anaknya ia terus
berpikir, apa yang akan ia katakan pada suaminya. Sore harinnya Sang
suami pulang dengan wajah lesu. Ia tak membawa sedikit pun hasil buruan.
Sambil menyeka keringat Ayah berkata, “Hari ini kita tidak beruntung
Bu. Aku tidak mendapatkan apa-apa. Jangankan rusa, tikus pun tak
terlihat olehku.”
“Lagi-lagi hari ini kita harus makan belalang,” gumam si Agah. Ibu
dan si Sulung saling berpandangan. Dengan berhati-hati si Ibu berkata,
“Maafkan aku, Yah. Tadi waktu mengambil beras di lumbung, aku lupa
menutup pintunya. Semua belalang itu kabur, jadi aku tak bisa
memasaknya. Hari ini kita hanya bisa makan nasi tanpa lauk.” Ya, Ibu
berbohong untuk menutupi kesalahan si Sulung. Ia tak ingin suaminga
memarahi anaknya.
Mendengar hal itu, Ayah langsung naik pitam. “Apa? Bukankah sudah
seribu kali kukatakan jangan lupa menutup pintu lumbung?” teriaknya.
“Benar Yah, tapi aku benar-benar lupa. Maafkan aku,” kata Ibu lagi.
“Maaf? Seharian aku mencari makanan untuk keluarga kita, dan kau
bahkan tak bisa menjaga belalang-belalang itu.” Tiba-tiba Ayah berdiri
dan masuk ke kamar. Ia mengeluarkan semua baju dan kain Ibu. “Keluar kau
dari rumah ini. Aku tak sudi punya istri yang tak bisa menjaga
kepercayaanku!” usirnya.
Si sulung terkejut. Ibu pun terkejut. “Mengapa Ayah tega mengusir
Ibu? Ibu kan sudah minta maaf?” tanya si Sulung sambil menangis. “Tak
usah membela ibumu,
“Nak. Dia tidak layak menjadi ibumu.” jawab Agah. Hati perempuan itu
sangat sakit mendengar kata-kata suaminya. Ia tak menyangka suaminya
akan mengusirnya begitu saja. Namun ia tahu benar tabiat suaminya. Jika
suaminya sudah berkata begitu, maka itulah yang harus terjadi.
Sambil memunguti baju dan kainnya, si Ibu pamit pada kedua anaknya.
“Maafkan Ibu, Nak. Ibu harus keluar dari rumah ini. Jaga diri kalian,
ya?” katanya sambil mencium kedua buah hatinya. Ia berjalan tak tentu
arah dan akhirnya tiba di depan sebuah batu besar yang dikenal dengan
nama Atu Belah. Atu Belah adalah batu yang bisa terbelah dan menelan
orang yang mendekatinya dalam keadaan sedih. Batu ini tidak menyukai
orang yang bersedih. Sayangnya, si Ibu tidak mengetahui hal tersebut. Ia
malah duduk di depan batu itu sambil meratapi nasibnya.
Tiba-tiba, Bumi bergetar. Batu besar itu bergerak-gerak, kemudian
kraakk… batu itu terbelah dua. Tanpa sempat menyadari apa yang terjadi,
si Ibu sudah tertelan oleh si Atu Belah.
“Ibuu… jangan tinggalkan kami… kembalilah Bu…” tiba-tiba terdengar
teriakan si Sulung. Rupanya, diam-diam ia dan adiknya mengikuti Ibu.
Tapi mereka terlambat, ibu mereka sudah ditelan Atu Belah.
Si Sulung menangis dan menyesali kecerobohannya. Ia merasa bersalah
telah menyebabkan ibunya bernasib demikian. Sambil menggendong adiknya,
ia mendekati Atu Belah itu. Ia mengusap-usapnya dan berkata, “Semoga Ibu
bahagia… aku sungguh menyesal telah menyusahkan Ibu. Doakan kami,
supaya bisa bertahan tanpa Ibu.”
Tiba-tiba dari dalam batu muncullah beberapa helai rambut Ibu. Si
Sulung yakin, Ibu sengaja memberikan rambutnya untuk melindungi anak-
anaknya. Si Sulung memetik tujuh lembar rambut ibunya dan menjadikannya
jimat. Jimat itu ia gunakan untuk melindungi dirinya dan adiknya dari
segala bahaya. “Selamat tinggal, Ibu….”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar