Cerita Rakyat dari : Aceh
Alkisah, di sebuah kampung di daerah Nanggroe Aceh Darussalam, ada
sepasang suami-istri yang mempunyai tujuh orang anak laki-laki yang
masih kecil. Anak yang paling tua berumur sepuluh tahun, sedangkan yang
paling bungsu berumur dua tahun. Untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka,
sepasang suami-istri itu menanam sayur-sayuran untuk dimakan sehari-hari
dan sisanya dijual ke pasar. Meskipun serba pas-pasan, kehidupan mereka
senantiasa rukun, damai, dan tenteram.
Pada suatu waktu, kampung mereka dilanda musim kemarau yang
berkepanjangan. Semua tumbuhan mati karena kekeringan. Penduduk kampung
pun mulai kekurangan makanan. Persediaan makanan mereka semakin hari
semakin menipis, sementara musim kemarau tak kunjung usai. Akhirnya,
seluruh penduduk kampung menderita kelaparan, termasuk keluarga sepasang
suami-istri bersama tujuh orang anaknya itu.
Melihat keadaan tersebut, sepasang suami-istri tersebut menjadi
panik. Tanaman sayuran yang selama ini menjadi sumber penghidupan mereka
tidak lagi tumbuh. Sementara mereka tidak mempunyai pekerjaan lain
kecuali menanam sayur-sayuran di kebun. Mereka sudah berpikir keras
mencari jalan keluar dari kesulitan tersebut, namun tidak menemukan
jawabannya. Akhirnya, mereka bersepakat hendak membuang ketujuh anak
mereka ke sebuah hutan yang letaknya jauh dari perkampungan.
Pada suatu malam, saat ketujuh anaknya sedang tertidur pulas,
keduanya bermusyawarah untuk mencari cara membuang ketujuh anak mereka.
“Bang! Bagaimana caranya agar tidak ketahuan anak-anak?” tanya sang Istri bingung.
“Besok pagi anak-anak kita ajak pergi mencari kayu bakar ke sebuah hutan
yang letaknya cukup jauh. Pada saat mereka beristirahat makan siang,
kita berpura-pura mencari air minum di sungai,” jelas sang Suami.
“Baik, Bang!” sahut sang Istri sepakat.
Tanpa mereka sadari, rupanya anak ketiga mereka yang pada waktu itu belum tidur mendengar semua pembicaraan mereka.
Keesokan harinya, sepasang suami-istri itu mengajak ketujuh putranya
ke hutan untuk mencari kayu bakar. Sesampainya di hutan yang terdekat,
sang Ayah berkata kepada mereka:
“Anak-anakku semua! Sebaiknya kita cari hutan yang luas dan banyak
pohonnya, supaya kita bisa mendapatkan kayu bakar yang lebih banyak
lagi,” ujar sang Ayah.
“Baik, Ayah!” jawab ketujuh anak lelaki itu serentak.
Setelah berjalan jauh, sampailah mereka di sebuah hutan yang amat
luas. Alangkah gembiranya mereka, karena di hutan itu terdapat banyak
kayu bakar. Mereka pun segera mengumpulkan kayu bakar yang banyak
berserakan. Ketika hari menjelang siang, sang Ibu pun mengajak ketujuh
anaknya untuk beristirahat melepas lelah setelah hampir setengah hari
bekerja.
Pada saat itulah, sepasang suami istri itu hendak mulai menjalankan
recananya ingin meninggalkan ketujuh anak mereka di tengah hutan itu.
“Wahai anak-anakku! Kalian semua beristirahatlah di sini dulu. Aku
dan ibu kalian ingin mencari sungai di sekitar hutan ini, karena
persediaan air minum kita sudah habis,” ujar sang Ayah.
“Baik, Ayah!” jawab ketujuh anak itu serentak.
“Jangan lama-lama ya, Ayah… Ibu…!’” sahut si Bungsu.
“Iya, Anakku!” jawab sang Ibu lalu pergi mengikuti suaminya.
Sementara itu, setelah menunggu beberapa lama dan kedua orangtua
mereka belum juga kembali, ketujuh anak itu mulai gelisah. Mereka cemas
kalau-kalau kedua orangtua mereka mendapat musibah. Akhirnya, si sulung
pun mengajak keenam adiknya untuk pergi menyusul kedua orangtua mereka.
Namun, sebelum meninggalkan tempat itu, anak ketiga tiba-tiba angkat
bicara.
“Abang! Tidak ada gunanya kita menyusul ayah dan ibu. Mereka sudah pergi meninggalkan kita semua,” kata anak ketiga.
“Apa maksudmu, Dik?” tanya si Sulung.
“Tadi malam, saat kalian sudah tertidur nyenyak, aku mendengar
pembicaraan ayah dan ibu. Mereka sengaja meninggalkan kita di tengah
hutan ini, karena mereka sudah tidak sanggup lagi menghidupi kita semua
akibat kemarau panjang,” jelas anak ketiga.
“Kenapa hal ini baru kamu ceritakan kepada kami?” tanya anak kedua.
“Aku takut ayah dan ibu murka kepadaku, Bang,” jawab anak ketiga.
Akhirnya ketujuh anak itu tidak jadi pergi menyusul kedua
orangtuanya, apalagi hari sudah mulai gelap. Mereka pun segera mencari
tempat perlindungan dari udara malam. Untungnya, tidak jauh dari tempat
mereka berada, ada sebuah pohon besar yang batangnya berlubang seperti
gua. Mereka pun beristirahat dan tidur di dalam lubang kayu itu hingga
pagi hari.
“Bang! Apa yang harus kita lakukan sekarang? Ke mana kita harus pergi?” tanya si anak kedua.
“Kalian tunggu di sini! Aku akan memanjat sebuah pohon yang tinggi.
Barangkali dari atas pohon itu aku dapat melihat kepulan asap. Jika ada,
itu pertanda bahwa di sana ada perkampungan,” kata si Sulung.
Ternyata benar, ketika berada di atas pohon, si Sulung melihat ada
kepulan asap dari kejauhan. Ia pun segera turun dari pohon dan mengajak
keenam adiknya menuju ke arah kepulan asap tersebut. Setelah berjalan
jauh, akhirnya sampailah mereka di sebuah perkampungan. Alangkah
terkejutnya mereka ketika melihat sebuah rumah yang sangat besar berdiri
tegak di pinggir kampung.
“Hei lihatlah! Besar sekali rumah itu,” seru anak keempat.
“Waaahhh… jangan-jangan itu rumah raksasa,” sahut anak keenam.
Baru saja kata-kata itu terlepas dari mulutnya, tiba-tiba terdengar
suara keras dari dalam rumah itu meminta mereka masuk ke dalam rumah.
Beberapa saat kemudian, penghuni rumah itu pun keluar. Rupanya, dia
adalah raksasa betina.
“Hei, anak manusia! Kalian siapa?” tanya Raksasa Betina itu.
“Kami tersesat, Tuan Raksasa! Orang tua kami meninggalkan kami di tengah hutan,” jawab si Sulung.
Mendengar keterangan itu, tiba-tiba si Raksasa Betina merasa iba
kepada mereka. Ia pun segera mengajak mereka masuk ke dalam rumahnya,
lalu menghidangkan makanan dan minuman kepada mereka. Oleh karena sudah
kelaparan, ketujuh anak itu menyantap makanan tersebut dengan lahapnya.
“Habiskan cepat makanan itu, lalu naik ke atas loteng! Kalau tidak,
kalian akan dimakan oleh suamiku. Tidak lama lagi ia datang dari
berburu,” ujar Raksasa Betina.
Oleh karena takut dimakan oleh Raksasa Jantan, mereka pun segera
menghabiskan makanannya lalu bergegas naik ke atas loteng untuk
bersembunyi. Tidak lama kemudian, Raksasa Jantan pun pulang dari
berburu. Ketika membuka pintu rumahnya, tiba-tiba ia mencium bau makanan
enak.
“Waaahhh… sedapnya!” ucap raksasa jantan sambil menghirup bau sedap itu.
“Bu! Sepertinya ada makanan enak di rumah ini. Aku mencium bau manusia.
Di mana kamu simpan mereka?” tanya Raksasa Jantan kepada istrinya.
“Aku menyimpan mereka di atas loteng. Tapi mereka masih kecil-kecil.
Biarlah kita tunggu mereka sampai agak besar supaya enak dimakan,” jawab
Raksasa Betina.
Si Raksasa Jantan pun menuruti perkataan istrinya. Selamatlah ketujuh
anak itu dari ancaman Raksasa Jantan. Keesokan harinya, ketika si
Raksasa Jantan kembali berburu binatang ke hutan, si Raksasa Betina pun
segera menyuruh ketujuh anak lelaki itu pergi. Namun, sebelum mereka
pergi, ia membekali mereka makanan seperlunya selama dalam perjalanan.
Bahkan, si Raksasa Betina yang baik itu membekali mereka dengan emas dan
intan.
“Bawalah emas dan intan ini, semoga bermanfaat untuk masa depan kalian,” kata Raksasa Betina.
“Terima kasih, Raksasa Jantan! Tuan memang raksasa yang baik hati,” ucap si Sulung seraya berpamitan.
Setelah berjalan jauh menyusuri hutan lebat, menaiki dan menuruni
gunung, akhirnya tibalah mereka di tepi pantai. Mereka pun segera
membuat perahu kecil lalu berlayar mengarungi lautan luas. Setelah
beberapa lama berlayar, tibalah mereka di sebuah negeri yang diperintah
oleh seorang raja yang adil dan bijaksana. Di negeri itu mereka menjual
semua emas dan intan pemberian raksasa kepada seorang saudagar kaya.
Hasil penjualan tersebut, mereka gunakan untuk membeli tanah perkebunan.
Masing-masing mendapat tanah perkebunan yang cukup luas. Ketujuh
bersaudara itu sangat rajin bekerja dan senantiasa saling membantu.
Beberapa tahun kemudian, mereka pun telah dewasa. Berkat kerja keras
selama bertahun-tahun, akhirnya mereka memiliki harta kekayaan yang
banyak. Kemudian masing-masing dari mereka membuat rumah yang cukup
bagus. Ketujuh lelaki itu pun hidup damai, tenteram dan sejahtera.
Pada suatu hari, si Bungsu tiba-tiba teringat dan merindukan kedua
orangtuanya. Ia pun segera mengundang keenam kakaknya datang ke rumahnya
untuk bersama-sama pergi mencari kedua orangtua mereka.
“Maafkan aku, Kakakku semua! Aku mengundang kalian ke sini, karena
ingin mengajak kalian untuk pergi mencari ayah dan ibu. Aku sangat
merindukan mereka, dan aku yakin, mereka pasti masih hidup,” ungkap si
Bungsu kepada saudara-saudaranya.
“Iya, Adikku! Kami juga merasakannya seperti itu. Kami sangat rindu
kepada ayah dan ibu yang telah melahirkan kita semua,” tambah anak
keenam.
“Baiklah kalau begitu! Besok pagi kita bersama-sama pergi mencari mereka. Apakah kalian setuju?” tanya si Sulung.
“Setuju!” jawab keenam adiknya serentak.
Keesokan harinya, berangkatlah ketujuh orang bersaudara itu mencari
kedua orangtua mereka. Setelah berlayar mengarungi lautan luas, tibalah
mereka di sebuah pulau. Di pulau itu, mereka berjalan dari satu kampung
ke kampung lain. Sudah puluhan kampung mereka datangi, namun belum juga
menemukannya. Hingga pada suatu hari, mereka pun menemukan kedua
orangtua mereka di sebuah kampung dalam keadaan menderita. Ketujuh orang
bersaudara itu sangat sedih melihat kondisi kedua orangtua mereka.
Akhirnya, mereka membawa orangtua mereka ke tempat tinggal mereka untuk
hidup dan tinggal bersama di rumah yang bagus.
Sejak itu, kedua orangtua itu berkumpul kembali dan hidup bersama
dengan ketujuh orang anaknya. Mereka senantiasa menyibukkan diri
beribadah kepada Tuhan Yang Mahakuasa. Segala keperluannya sudah
dipenuhi oleh ketujuh orang anaknya yang sudah cukup kaya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar