Cerita Rakyat dari : Aceh
Konon, pada zaman dahulu di negeri Semeulue, tersebutlah seorang raja
yang kaya-raya. Raja itu sangat disenangi oleh rakyatnya, karena
kedermawanannya. Namun, ia tidak memiliki anak setelah sepuluh tahun
menikah dengan permaisurinya. Oleh karena sudah tidak tahan lagi ingin
punya keturunan, Raja itu pun pergi bersama permaisurinya ke hulu sungai
yang airnya sangat dingin untuk berlimau dan bernazar, agar dikaruniai
seorang anak yang kelak akan mewarisi tahta kerajaan.
Tempat yang akan dituju itu berada sangat jauh dari keramaian. Untuk
menuju ke sana, mereka harus menyusuri hutan belantara, menyeberangi
sungai-sungai, serta mendaki dan menuruni gunung. Mereka pun berangkat
dengan membawa bekal secukupnya. Setiba kedua suami-istri di sana,
mereka mulai melaksanakan maksud dari kedatangan mereka. Setelah
sehari-semalam berlimau dan bernazar, mereka pun kembali ke istana.
Setelah menunggu berhari-hari dan berminggu-minggu, akhirnya doa
mereka terkabul. Permaisuri diketahui telah mengandung satu bulan.
Delapan bulan kemudian, Permaisuri pun melahirkan seorang anak
laki-laki, dan diberinya nama Rohib. Raja sangat gembira menyambut
kelahiran putranya itu, yang selama ini diidam-idamkannya. Raja kemudian
memukul beduk untuk memberitahukan kepada seluruh rakyatnya agar
berkumpul di pendopo istana. Selanjutnya, Raja menyampaikan bahwa ia
hendak mengadakan selamatan sebagai tanda syukur atas rahmat Tuhan yang
telah menganugerahinya anak. Keesokan harinya, selamatan pun
dilangsungkan sangat meriah dengan berbagai macam pertunjukan.
Raja dan permaisuri mendidik dan membesarkan putra mereka dengan
penuh kasih sayang. Mereka sangat memanjakannya, sehingga anak itu
tumbuh menjadi anak yang sangat manja. Waktu terus berlalu, Rohib pun
bertambah besar. Rohib kemudian dikirim oleh orang tuanya ke kota untuk
belajar di sebuah perguruan. Sebelum berangkat, Rohib mendapat pesan
dari ayahnya agar belajar dengan tekun. Setelah itu, ia pun berpamitan
kepada orang tuanya. Sudah beberapa tahun Rohib belajar, Rohib belum
juga mampu menyelesaikana pelajarannya karena sudah terbiasa manja.
Ayahnya menjadi sangat marah kepadanya, bahkan ingin menghukumnya,
ketika ia kembali ke istana.
“Hai, Rohib! Anak macam apa kamu! Dasar anak keras kepala! Sudah
tidak mau mendengar nasihat orang tua. Pengawal! Gantung anak ini sampai
mati!” perintah sang Raja. Mendengar perintah suaminya kepada pengawal,
Permaisuri pun segera bersujud di hadapan suaminya.
“Ampun, Kakanda! Rohib adalah anak kita satu-satunya. Adinda mohon,
Rohib jangan dihukum mati. Berilah ia hukuman lainnya!” pinta sang
Permaisuri kepada suaminya.
“Tapi, Kanda sudah muak melihat muka anak ini!” jawab sang Raja dengan geramnya.
“Bagaimana kalau kita usir saja dia dari istana ini? Tapi dengan
syarat, Kakanda bersedia memberinya uang sebagai modal untuk berdagang,”
usul sang Permaisuri.
“Baiklah, Dinda! Usulan Dinda aku terima. Tapi dengan syarat, uang
yang aku berikan kepada Rohib tidak boleh ia habiskan kecuali untuk
berdagang,” jawab sang Raja.
“Bagaimana pendapatmu, Anakku?” Permaisuri balik bertanya kepada Rohib.
“Baiklah, Bunda! Rohib bersediah memenuhi syarat itu. Terima kasih, Bunda!” jawab Rohib.
“Jika kamu melanggar lagi, maka tidak ada ampun bagimu, Rohib!” tambah Raja menegaskan kepada putranya itu.
Setelah itu, Rohib berpamitan kepada orang tuanya untuk pergi
berdagang. Ia pergi dari satu kampung ke kampung dengan menyusuri hutan
belantara. Di tengah perjalanan, ia bertemu dengan anak-anak kampung
yang sedang menembak burung dengan ketapel.
“Wahai, Saudara-saudaraku! Janganlah kalian menganiaya burung itu,
karena burung itu tidak berdosa.” tegur si Rohib kepada anak-anak itu.
“Hei, kamu siapa? Berani-beraninya kamu melarang kami,” bantah salah seorang dari anak-anak kampung itu.
“Jika kalian berhenti menembaki burung itu, aku akan memberi kalian uang,” tawar Rohib.
Anak-anak kampung itu menerima tawaran Rohib.
Setelah memberikan uang kepada mereka, Rohib pun melanjutkan
perjalanannya. Belum jauh berjalan, ia menemukan lagi orang-orang
kampung yang sedang memukuli seekor ular. Rohib tidak tega melihat
perbuatan mereka tersebut. Ia kemudian memberikan uang kepada
orang-orang tersebut agar berhenti menganiaya ular itu.
Setelah itu, ia melanjutkan lagi perjalanannya menyusuri hutan lebat
menuju ke sebuah perkampungan. Demikian seterusnya, selama dalam
perjalanannya, ia selalu memberi uang kepada orang-orang yang menganiaya
binatang, sehingga tanpa disadarinya uang yang seharusnya dijadikan
modal berdagang sudah habis.
Setelah sadar, ia pun mulai gelisah dan berpikir bagaimana jika ia
pulang ke istana. Tentu ayahnya akan sangat marah dan akan menghukumnya.
Apalagi ia telah dua kali melakukan kesalahan besar, pasti ayahnya
tidak akan mengampuninya lagi. Oleh karena kelelahan seharian berjalan,
ia pun memutuskan untuk beristirahat di bawah sebuah pohon yang rindang.
Ia kemudian duduk di atas sebuah batu besar yang ada di bawah pohon itu
sambil menangis tersedu-sedu.
Pada saat itu, tiba-tiba seekor ular besar mendekatinya. Rohib sangat ketakutan, mengira dirinya akan dimangsa ular itu.
“Jangan takut, Anak muda! Saya tidak akan memakanmu,” kata ular itu.
Melihat ular itu dapat berbicara, rasa takut Rohib pun mulai hilang.
“Hai, Ular besar! Kamu siapa? Kenapa kamu bisa berbicara?” tanya si Rohib mulai akrab.
“Aku adalah Raja Ular di hutan ini,” jawab ular itu.
“Kamu sendiri siapa? Kenapa kamu bersedih?” ular itu balik bertanya kepada si Rohib.
“Aku adalah si Rohib,” jawab Rohib, lalu menceritakan semua
masalahnya dan semua kejadian yang telah dialami selama dalam
perjalanannya.
“Kamu adalah anak yang baik, Hib,” kata Ular itu dengan akrabnya.
“Karena kamu telah melindungi hewan-hewan di hutan ini dari orang-orang
kampung yang menganiayanya, aku akan memberimu hadiah sebagai tanda
terima kasihku,” tambah ular itu lalu kemudian mengeluarkan sesuatu dari
mulutnya.
“Benda apa itu?” tanya si Rohib penasaran.
“Benda itu adalah benda yang sangat ajaib. Apapun yang kamu minta,
pasti akan dikabulkan. Namanya Mentiko Betuah,” jelas Ular itu, lalu
pergi meninggalkan si Rohib.
Sementara itu, Rohib masih asyik mengamati Mentiko Betuah itu. “Waw,
hebat sekali benda ini. Berarti benda ini bisa menolongku dari kemurkaan
ayah,” gumam Rohib dengan perasaan gembira.
Berbekal Mentiko Betuah itu, Rohib memberanikan diri kembali ke
istana untuk menghadap kepada ayahnya. Namun, sebelum sampai di istana,
terlebih dahulu ia memohon kepada Mentiko Betuah agar memberinya uang
yang banyak untuk menggantikan modalnya yang telah dibagi-bagikan kepada
orang-orang kampung, dan keuntungan dari hasil dagangannya.
Ayahnya pun sangat senang menyambut putranya yang telah membawa uang
yang banyak dari hasil dagangannya. Akhirnya, Rohib diterima kembali
oleh ayahnya dan terbebas dari ancaman hukuman mati. Semua itu berkat
pertolongan Mentiko Betuah, pemberian ular itu.
Setelah itu, Rohib berpikir bagaimana cara untuk menyimpan Mentiko
Betuah itu agar tidak hilang. Suatu hari, ia menemukan sebuah cara,
yaitu ia hendak menempanya menjadi sebuah cincin. Lalu dibawanya Mentiko
Betuah itu kepada seorang tukang emas. Namun tanpa disangkanya, tukang
emas itu menipunya dengan membawa lari benda itu. Oleh karena Rohib
sudah bersahabat dengan hewan-hewan, ia pun meminta bantuan kepada
mereka.
Tikus, kucing dan anjing pun bersedia menolongnya. Anjing dengan
indera penciumannya, berhasil menemukan jejak si tukang emas, yang telah
melarikan diri ke seberang sungai. Kini, giliran si Kucing dan si Tikus
untuk mencari cara bagaimana cara mengambil cincin itu yang disimpan di
dalam mulut tukang emas. Pada tengah malam, si Tikus memasukkan ekornya
ke dalam lubang hidung si Tukang Emas yang sedang tertidur. Tak berapa
lama, Tukang Emas itu bersin, sehingga Mentiko Betuah terlempar keluar
dari mulutnya. Pada saat itulah, si Tikus segera mengambil benda itu.
Namun, ketika Mentiko Betuah akan dikembalikan kepada Rohib, si Tikus
menipu kedua temannya dengan mengatakan bahwa Mentiko Betuah terjatuh
ke dalam sungai. Padahal sebenarnya benda itu ada di dalam mulutnya.
Pada saat kedua temannya mencari benda itu ke dasar sungai, ia segera
menghadap kepada si Rohib. Dengan demikian, si Tikuslah yang dianggap
sebagai pahlawan dalam hal ini. Sementara, si Kucing dan si Anjing
merasa sangat bersalah, karena tidak berhasil membawa Mentiko Betuah.
Ketika diketahui bahwa si Rohib telah menemukan Mentiko Betuahnya, yang
dibawa oleh si Tikus, maka tahulah si Kucing dan si Anjing bahwa si
Tikus telah melakukan kelicikan.
Menurut masyarakat setempat, bahwa berawal dari cerita inilah mengapa
tikus sangat dibenci oleh anjing dan kucing hingga saat ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar