Cerita Rakyat dari : Aceh
Tersebutlah dua bersaudara putra Sultan Johor, Malaysia. Mereka adalah Muria dan Sengede.
Suatu hari, kakak beradik itu menggembala itik di tepi laut sambil
bermain layang-layang. Tiba-tiba datang badai dahsyat sehingga benang
layang-layang mereka pun putus. Sekuat tenaga mereka mengejar
layang-layang tersebut. Mereka lupa bahwa pada saat itu mereka sedang
menggembala itik, hingga itiknya pun pergi entah ke mana.
Setelah gagal menemukan layang-layang mereka, barulah mereka teringat
akan itik-itik mereka. Tetapi malang, itik-itik itu tak lagi nampak.
Mereka pun pulang dengan ketakutan akan mendapat marah dari orangtua
mereka.
Benar juga apa yang mereka pikirkan. Setiba di rumah, mereka dimarahi
ayah mereka. Mereka juga disuruh mencari itik-itik itu, dan tak
diizinkan kembali sebelum itik-itik yang hilang itu ditemukan kembali.
Berhari-hari bahkan berbulan-bulan mereka berjalan mencari itik
mereka, tapi tak membawa hasil hingga akhirnya mereka tiba di Kampung
Serule. Dengan tubuh yang lunglai mereka menuju ke sebuah
meunasah/langgar dan tertidur lelap. Pagi harinya mereka ditemukan oleh
orang kampung dan dibawa menghadap ke istana Raja Serule. Di luar
dugaan, mereka malah diangkat anak oleh baginda raja.
Beberapa waktu berlalu, rakyat Serule hidup makmur, aman, dan
sentosa. Hal ini dikarenakan oleh kesaktian kedua anak tersebut.
Kemakmuran rakyat Serule itu membuat Raja Linge iri dan gusar, sehingga
mengancam akan membunuh kedua anak tersebut. Malang bagi Muria, ia
berhasil dibunuh dan dimakamkan di tepi Sungai Samarkilang, Aceh
Tenggara.
Pada suatu saat, raja-raja kecil berkumpul di istana Sultan Aceh di
Kutaraja. Raja-raja kecil itu mempersembahkan cap usur, semacam upeti
kepada Sultan Aceh. Saat itu, Cik Serule datang bersama Sangede. Saat
itu, Raja Linge juga hadir. Saat Raja Serule masuk ke istana, Sangede
menunggu di halaman istana.
Sambil menunggu ayah angkatnya, Sangede menggambar seekor gajah yang
berwarna putih. Rupanya lukisan Sangede ini menarik perhatian Putri
Sultan yang kemudian meminta Sultan mencarikan seekor gajah putih
seperti yang digambar oleh Sangede.
Sangede kemudian menceritakan bahwa gajah putih itu berada di daerah
Gayo, padahal dia sebenarnya belum pernah melihatnya. Maka, saat itu
juga Sultan memerintahkan Raja Serule dan Raja Linge untuk menangkap
gajah putih tersebut guna dipersembahkan kepada Sultan. Raja Serule dan
Raja Linge benar-benar kebingungan, bagaimana mungkin mencari sesuatu
yang belum pernah dilihatnya.
Sangede menyesal karena bercerita bahwa gajah putih itu ada di Gayo
hingga ayah angkatnya mendapat tugas mencarinya. Dalam kebingungan itu,
suatu malam Sangede bermimpi bertemu dengan Muria yang memberitahu bahwa
gajah putih itu berada di Samarkilang, dan sebenarnya gajah putih itu
adalah dirinya yang menjelma saat dibunuh oleh Raja Linge.
Pagi harinya, Sangede dan Raja Serule yang bergelar Muyang Kaya pergi
ke Samarkilang seperti perintah dalam mimpi Sangede. Benar juga,
setelah beberapa saat mencari, mereka berdua menemukan gajah putih itu
sedang berkubang di pinggiran sungai.
Sangede dan Raja Serule Muyang Kaya kemudian dengan hati-hati
mengenakan tali di tubuh gajah yang nampak penurut itu. Tetapi saat akan
dihela, gajah putih itu lari sekuat tenaga. Raja Serule dan Sangede tak
mampu menahannya. Mereka hanya bisa mengejarnya hingga suatu saat gajah
itu berhenti di dekat kuburan Muria di Samarkilang.
Anehnya, gajah putih itu berhenti seperti sebongkah batu. Tak
bergerak sedikit pun meski Sangede dan Raja Serule mencoba menghelanya.
Berbagai cara dicoba oleh Sangede agar gajah putih itu mau beranjak dan
menuruti perintahnya untuk diajak pergi ke istana Kutaraja. Tetapi,
semuanya sia-sia.
Sangede kehabisan akal. Akhirnya, dia bernyanyi-nyanyi untuk menarik
perhatian gajah putih. Sambil bernyanyi, Sangede meliuk-liukkan
tubuhnya. Raja Serule ikut-ikutan menari bersama Sangede di depan gajah
putih agar mau bangkit dan menuruti perintahnya. Di luar dugaan, gajah
putih itu tertarik juga oleh gerakan-gerakan Sangede, dan kemudian
bangkit. Sangede terus menari sambil berjalan agar gajah itu mengikuti
langkahnya. Akhirnya, gajah itu pun mengikuti Sangede yang terus menari
hingga ke istana. Tarian itu disebutnya tarian Guel hingga sekarang.
Sangede menyadari bahwa sesuatu ajakan kepada seseorang atau kepada
binatang tidaklah harus dengan cara yang kasar. Dengan sebuah tarian pun
akhirnya gajah putih itu menuruti ajakannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar