Pada zaman dahulu berdiri satu kerajaan yang makmur dan damai. Dalam
wilayah kerajaan itu terdapat satu pohon besar yang menjulang tinggi
yang diberi nama “EU BÖWÖ” (pohon pemberi). Letaknya cukup
strategis bagi banyak orang. Setiap hari semua makhluk hidup datang
dibawah rindangan pohon tersebut untuk berteduh. Burung dan hewan lain
hinggap di pohon itu dan minta pemberian. Daun pohon itu setiap hari
melambai-lambai sepertinya memanggil sekalian makhluk di bumi
mengokohkan persatuan dan kesatuan. Pohon tersebut cukup adil dalam
memberikan rezeki, sehingga tidak seorangpun manusia yang miskin dan
melarat. Pohon tersebut dinamai oleh masyarakat “Pohon pemberi rezeki”.
Suatu ketika saat fajar menyingsing sekalian makhluk bersuka ria
menyambut pagi hari yang ceria, seketika datanglah bertamu seekor
binatang kecil namanya Lito-lito (ulat) kecil mau menghadap Eu Bôwô (pohon pemberi) hendak meminta pertolongan agar dia dapat menjelma menjadi seekor ayam jantan. Pohon pemberi (Eu Bowo) mengabulkan permintaanya, lalu diberi namanya “Si Jago”.
Ayam Jago pergi dengan gagahnya, berniat hendak membunuh ayam-ayam dalam kerajaan. Si Jago secepat kilat telah tiba di halaman Istana Raja, dia melihat ribuan ayam hidup santai di halaman kerajaan. Tanpa perhitungan dan rasa kasih sayang terhadap sesama, si Jago terbang menghajar semua jantan dan betina. Dengan kesaktiannya ribuan ayam mati dan yang lain lari bersembunyi. Melihat kenyataan itu putera Baginda Raja memerintahkan para Hulubalang mengejar ayam Jago untuk di bunuh. Si Jago terbang ke angkasa menuju Eu Bôwô (pohon pemberi). Segala peristiwa diceritakannya, dan si Jago memohon agar pohon pemberi mengubah wujudnya menjadi seekor kambing, lalu si Jago menjelma menjadi seekor kambing, diberi namanya: “Hitam”.
Ayam Jago pergi dengan gagahnya, berniat hendak membunuh ayam-ayam dalam kerajaan. Si Jago secepat kilat telah tiba di halaman Istana Raja, dia melihat ribuan ayam hidup santai di halaman kerajaan. Tanpa perhitungan dan rasa kasih sayang terhadap sesama, si Jago terbang menghajar semua jantan dan betina. Dengan kesaktiannya ribuan ayam mati dan yang lain lari bersembunyi. Melihat kenyataan itu putera Baginda Raja memerintahkan para Hulubalang mengejar ayam Jago untuk di bunuh. Si Jago terbang ke angkasa menuju Eu Bôwô (pohon pemberi). Segala peristiwa diceritakannya, dan si Jago memohon agar pohon pemberi mengubah wujudnya menjadi seekor kambing, lalu si Jago menjelma menjadi seekor kambing, diberi namanya: “Hitam”.
Hitam meloncat-loncat kegirangan lalu pergi meninggalkan Eu Bôwô. Saat si Hitam tiba di tempat kawanan kambing, gembala sedang istirahat, kesempatan itu tidak dilewatkan oleh Hitam untuk membunuh semua kambing jantan dan betina, ratusan yang mati, puluhan ekor luka-luka. Para gembala terkejut dan sedih melihat ratusan kambing yang mati. Hitam secepat kilat lari menyelinap. Pada pagi hari hitam menceritakan segala peristiwa yang terjadi pada Eu Bowo bahwa gembala ternak berniat membunuhnya. Hitam mohon kepada “pohon pemberi” agar wujudnya menjelma menjadi seekor kuda diberi nama: “Merah”.
Merah lalu pergi meninggalkan Eu Bowo bermaksud membunuh semua kuda bahkan manusia. Dari kejauhan tampak olehnya seekor kuda ditunggangi oleh seorang pemuda. Merah mempercepat langkahnya hendak melampiaskan niat buruknya. Ketika berdekatan secepat kilat kedua kaki Merah menyerang kuda tadi akhirnya kuda itu mati dan penunggangnya luka berat. Merah meneruskan perjalanan menuju Istana Raja dan memasuki gelanggang kuda, terjadilah pertempuran yang sengit. Si Merah berhasil membunuh beratus-ratus ekor kuda dan puluhan yang luka dan cacat. Para Hulubalang dan prajurit mengejar si Merah. Beberapa peluru menghujani kearah Merah namun karena kesaktiannya tak ada satu peluru yang menembusnya. Peristiwa itu diceritakannya kepada Eu Bowo dan memohon agar ia menjelma menjadi seorang pemuda sakti. Merah menjelma menjadi seorang pemuda dan diberi nama: “Sabe`e Tandro” (keras kepala).
Sabe`e Tandro pergi meninggalkan Eu Bôwô mengenakan pakaian pendekar sakti menuju Istana Raja yang sedang merayakan pesta ulang tahun. Dengan gagah perkasa Sabe`e tandro memasuki Istana, langsung menghadap Baginda Raja menyampaikan maksud kedatangannya. Sabe`e tandro memperkenalkan diri bahwa ianya seorang Putera Raja dari kerajaan yang sungguh jauh dari kerajaan ini, bermaksud menggantikan kedudukan Baginda Raja. Mendengar ucapan itu Baginda Raja terkejut dan terperajat dari tempat duduknya, lalu ia berkata ketahuilah : maksud kedatangan tuan tentu saja ditolak oleh rakyatku. Sabe`e tandro memberi tawaran kedua: Bila secara damai ditolak, satu-satunya jalan hanya dengan peperangan. Akhirnya opsi yang terakhir menjadi pilihan yakni terjadilah peperangan yang dahsyat, gempar diseluruh kerajaan. Ratap dan tangisan terdengar dimana-mana, darah manusia mengalir ke sungai. Pada hari ketiga Panglima besar kerajaan memberi isyarat tanda menyerah. Segera diadakan perundingan dan hasilnya Sabe`e tandro dinobatkan menjadi Raja. Nama kebesarannya “Raja Tandrofô” (Raja yang bertahan pada pendapat).
Raja Tandrofô memerintah dengan gaya korupsi dan kekerasan (Diktator) seluruh rakyat menderita bahkan ribuan orang mati kelaparan. Raja Tandrofô berniat membangun Istana Raja, sebuah bangunan pencakar langit megah dan istimewa. Diperintahkan seluruh rakyat mengambil Eu Bôwô sebagai bahan bangunan. Mendengar ucapan itu seluruh rakyat bersedih, namun tak seorangpun yang berani menolak perintah raja, kendatipun mereka tahu bahwa Eu Bôwô sumber rezeki.
Eu Bôwô di gergaji oleh tukang kayu, namun setengah hari mereka tidak berhasil, kulitnya sajapun tidak dapat tergores oleh setiap jenis alat yang mereka gunakan. Eu Bôwô menangis sedih dan bertanya: siapa yang menyuruh kalian membunuh aku? Para tukang menjawab: Raja Tandrofô, pohon pemberi menjawab: suruh Raja Tandrofô disini, ada sesuatu yang hendak saya sampaikan. Mendengar berita itu, Raja Tandrofô sangat marah lalu mengenakan baju tanda kebesaran dan keris pusaka ditangannya.
Ketika Raja Tandrofô tiba dibawah pohon pemberi (Eu Bôwô), Eu Bôwô berseru: Saudara Raja Tandrofô: budi baikku kau balas dengan kejahatan”. Hari ini saksikan hai semua makhluk di bumi dan seluruh rakyat, inilah asal-usul Raja Tandrofô; Raja Tandrofô menjelma menjadi seekor kuda, kuda menjelmah menjadi kambing, kambing menjelmalh menjadi ayam, ayam menjelmah menjadi Lito-lito (ulat). Semuanya terjadi menurut yang diucapkan oleh Eu Bôwô. Seluruh rakyat menyaksikan peristiwa yang aneh dan luar biasa itu. Eu Bôwô menyuruh salah seorang rakyat segera membunuh Lito-lito tadi agar kejahatannya berakhir dengan kematian. Eu Bôwô
membimbing seluruh rakyat agar berbuat dengan baik dan bekerja keras.
Berbahagialah dia yang makan dari keringatnya sendiri, bersuka karena
usahanya sendiri dan berkembang karena pengalamannya Hargailah
segala jasa-jasa yang baik yang telah diterima semasa hidup, jangan
melupakan sejarah dan jangan memutarbalikan fakta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar