Cerita Rakyat dari : Aceh
Suatu hari seekor ayam sedang mengais-ngais tanah untuk mendapatkan makanan, mungkin saja ia bisa mendapatkan seekor cacing tanpa menunggu majikannya memberikannya makan. Melihat ayamnya kelaparan, sang majikan segera mengambil beberapa biji beras kemudian memberikannya pada si ayam.
Majikannya tersebut adalah seorang kakek. Kakek itu bernama Ibrahim, tapi sering di panggil Kek Him serta kakek itu terkenal dengan suaranya yang besar. Walaupun menurutnya ia berbicara dengan suara kecil, tapi bagi orang lain suaranya itu dapat membangunkan orang yang sedang tidur nyenyak.
Kakek itu tinggal berdua dengan istrinya, sedangkan anak-anaknya semua sudah berkeluarga dan tinggal dirumahnya masing-masing. Selain bertani, kakek itu bekerja mengelola kebun kopi yang ada di belakang rumahnya serta memelihara hewan ternak, mulai dari kerbau, kambing sampai unggas. Di kampungnya kakek itu terkenal rajin karena setiap tahun lumbung padinya selalu terisi penuh. Istri kakek tersebut bernama Fatimah, biasanya dipanggil Nek Mah. Nenek itu sangat cerewet, tapi beliau sangat suka mendongeng. Apalagi, kalau suasana hatinya sedang baik. Kadang-kadang anak-anak kecil suka datang kerumahnya untuk mendengar ceritanya atau sekadar mengambil buah-buahan yang ada di halaman rumah sewaktu pulang dari balai seusai pengajian.
Nek Mah juga sering di panggil Nek Latah. Panggilan itu menjadi nama sapaanya setelah ia menjadi latah yang disebabkan karena terkejut dengan harimau.
Ceritanya begini, suatu malam, kambing di dalam kandang menjerit-jerit histeris. Nek Mah berpikir kalau saja ada pencuri yang akan mencuri kambingnya. Nek Mah yang berani segera mengambil panyot dan turun dari rumah panggungnya. Namun, ketika turun ia melihat banyak bakat harimau, kemudian tanpa berpikir panjang ia segera masuk kedalam rumah dengan tubuh bergetar dan duduk bersimpuh seperti orang ketakutan. Ia menceritakan hal itu kepada kek Him, tapi Kek Him tidak percaya karena tiba-tiba suara jeritan kambingnya berhenti.
Keesokan harinya, Kek Him langsung memeriksa ke dalam kandang, untuk membuktikan perkataan Nek Mah. Mungkin saja tidak ada kambing yang hilang. Namun, Kek Him melihat jejak darah serta bakat harimau dan mengikutinya sampai ke semak-semak. Kemudian ia menemukan tubuh kambingnya sudah terkoyak-koyak, ternyata perkataan istrinya benar. Dari kejadian itulah, Nek Mah menjadi latah.
Pada suatu hari, anak sulung Nek Mah mengadakan acara khitanan anak lelakinya yang pertama.
Kebetulan rumah anaknya itu jauh dari rumah mereka. Nek Mah dan kek Him di ajak menginap, tapi kek Him tidak bisa menginap karena tidak ada yang menjaga dan memberi makan ternak-ternaknya. Akhirnya, pulanglah Kek Him sendiri ke rumah. Setibanya di rumah, sudah waktu salat magrib, ia langsung menunaikan salat. Seusai salat ia langsung makan. Dia membawa gulai dari rumah anaknya. Di samping gulai itu, anaknya juga memmberikan kolang-kaling kesukaannya. Ia bermaksud untuk makan kolang-kaling tersebut setelah salat isya.
Ia berangkat ke balai untuk salat Isya berjamaah. Sewaktu Kek Him pergi ke balai, seorang pencuri sudah mengintip rumah Kek Him yang kosong. Setelah yakin di rumah Kek Him tidak ada orang, dan pencuri itu sangat hapal kalau Kek Him biasanya pulang dari balai agak sedikit larut, masuklah pencuri tadi ke rumah Kek Him.
Namun, hari itu bukan nasib baik si pencuri. Kolang-kaling kesukaan Kek Him masih terngiang-ngiang di kepala sehingga membuat Kek Him tidah betah lama-lama di balai. Setelah memanjatkat doa sejenak, ia meminta permisi kepada imam mesjid untuk segera pulang. Pencuri yang hendak mencuri ayam Kek Him mendengar suara tapak kaki dan derit bukaan pintu rumah, segera sadar bahwa Kek Him telah pulang. Ia bersembunyi di bawah rumah panggung itu. Kek Him yang hanya ditemani panyot itu segera membuka tudung nasinya dan memakan kolang-kaling di dalam panci sambil duduk di atas tikar pandan dan menikmati makanannya. Buah kolang-kaling itu sangat licin, sedangkan Kek Him tidak punya gigi. Dia berusaha untuk mengunyah kolang-kaling itu, tapi tidak bisa. Sambil makan, ia mengumpat-ngumpat karena kolang-kaling yang ia makan berlari ke kanan dan ke kiri.
“Di mana kamu, mau lari kemana, kalau dapat aku makan kamu. Hayo-hayo lari kemana, heuh, heuh..”
Spontan saja pencuri yang ada di bawah kolong rumah terkejut dan lari pontang-panting mendengar suara umpatan Kek Him yang sangat keras itu. Ia mengira umpatan itu ditujukan kepadanya. Sangking ketakutannya, pencuri tadi tidak melihat jalan yang sedang dilaluinya sehingga ia bertubruknya gerombolan remaja yang baru pulang dari balai.
Melihat si pencuri lari tunggang langgang dari rumah Kek Him, para remaja yang tidak mengenal orang itu mulai curiga. Apalagi, lelaki ya menabrak mereka bukan penduduk kampung tersebut. Mereka dapat mengambil kesimpulan bahwa itu pencuri. Mereka segera menangkap pencuri itu dan membawanya ke balai untuk diinterogasi.
Keesokan harinya, Kek Him yang tidak tahu apa-apa didatangi oleh remaja mesjid, lalu menanyakan kejadian semalam dan apakah ada barang-barang Kek Him yang hilang. Kek Him yang setengah terkejut itu mengatakan tidak ada barang yang hilang, ia cuma bilang kalau semalam ia mendengar suara gaduh di bawah rumahnya. Tapi, pikirnya mungkin itu cuma babi, tanpa memperdulikan hal itu, ia larut dalam kolang-kalingnya sambil berbicara sendiri-sendiri dan mengumpat-ngumpat karena tidak bisa mengunyah.
Si remaja yang mendengar cerita itu tertawa dan langsung mengerti, mengapa si pencuri kabur dan tidak jadi mencuri. Kemudian, ia segera kembali ke balai lagi untuk menceritakannya kejadian itu pada pak keuchik. Semua orang yang ada di balai itu tertawa mendengar kekonyolan kejadian tersebut dan pencuri itu dilepaskan dengan syarat tidak mengulangi perbuatannya lagi.
Suatu hari seekor ayam sedang mengais-ngais tanah untuk mendapatkan makanan, mungkin saja ia bisa mendapatkan seekor cacing tanpa menunggu majikannya memberikannya makan. Melihat ayamnya kelaparan, sang majikan segera mengambil beberapa biji beras kemudian memberikannya pada si ayam.
Majikannya tersebut adalah seorang kakek. Kakek itu bernama Ibrahim, tapi sering di panggil Kek Him serta kakek itu terkenal dengan suaranya yang besar. Walaupun menurutnya ia berbicara dengan suara kecil, tapi bagi orang lain suaranya itu dapat membangunkan orang yang sedang tidur nyenyak.
Kakek itu tinggal berdua dengan istrinya, sedangkan anak-anaknya semua sudah berkeluarga dan tinggal dirumahnya masing-masing. Selain bertani, kakek itu bekerja mengelola kebun kopi yang ada di belakang rumahnya serta memelihara hewan ternak, mulai dari kerbau, kambing sampai unggas. Di kampungnya kakek itu terkenal rajin karena setiap tahun lumbung padinya selalu terisi penuh. Istri kakek tersebut bernama Fatimah, biasanya dipanggil Nek Mah. Nenek itu sangat cerewet, tapi beliau sangat suka mendongeng. Apalagi, kalau suasana hatinya sedang baik. Kadang-kadang anak-anak kecil suka datang kerumahnya untuk mendengar ceritanya atau sekadar mengambil buah-buahan yang ada di halaman rumah sewaktu pulang dari balai seusai pengajian.
Nek Mah juga sering di panggil Nek Latah. Panggilan itu menjadi nama sapaanya setelah ia menjadi latah yang disebabkan karena terkejut dengan harimau.
Ceritanya begini, suatu malam, kambing di dalam kandang menjerit-jerit histeris. Nek Mah berpikir kalau saja ada pencuri yang akan mencuri kambingnya. Nek Mah yang berani segera mengambil panyot dan turun dari rumah panggungnya. Namun, ketika turun ia melihat banyak bakat harimau, kemudian tanpa berpikir panjang ia segera masuk kedalam rumah dengan tubuh bergetar dan duduk bersimpuh seperti orang ketakutan. Ia menceritakan hal itu kepada kek Him, tapi Kek Him tidak percaya karena tiba-tiba suara jeritan kambingnya berhenti.
Keesokan harinya, Kek Him langsung memeriksa ke dalam kandang, untuk membuktikan perkataan Nek Mah. Mungkin saja tidak ada kambing yang hilang. Namun, Kek Him melihat jejak darah serta bakat harimau dan mengikutinya sampai ke semak-semak. Kemudian ia menemukan tubuh kambingnya sudah terkoyak-koyak, ternyata perkataan istrinya benar. Dari kejadian itulah, Nek Mah menjadi latah.
Pada suatu hari, anak sulung Nek Mah mengadakan acara khitanan anak lelakinya yang pertama.
Kebetulan rumah anaknya itu jauh dari rumah mereka. Nek Mah dan kek Him di ajak menginap, tapi kek Him tidak bisa menginap karena tidak ada yang menjaga dan memberi makan ternak-ternaknya. Akhirnya, pulanglah Kek Him sendiri ke rumah. Setibanya di rumah, sudah waktu salat magrib, ia langsung menunaikan salat. Seusai salat ia langsung makan. Dia membawa gulai dari rumah anaknya. Di samping gulai itu, anaknya juga memmberikan kolang-kaling kesukaannya. Ia bermaksud untuk makan kolang-kaling tersebut setelah salat isya.
Ia berangkat ke balai untuk salat Isya berjamaah. Sewaktu Kek Him pergi ke balai, seorang pencuri sudah mengintip rumah Kek Him yang kosong. Setelah yakin di rumah Kek Him tidak ada orang, dan pencuri itu sangat hapal kalau Kek Him biasanya pulang dari balai agak sedikit larut, masuklah pencuri tadi ke rumah Kek Him.
Namun, hari itu bukan nasib baik si pencuri. Kolang-kaling kesukaan Kek Him masih terngiang-ngiang di kepala sehingga membuat Kek Him tidah betah lama-lama di balai. Setelah memanjatkat doa sejenak, ia meminta permisi kepada imam mesjid untuk segera pulang. Pencuri yang hendak mencuri ayam Kek Him mendengar suara tapak kaki dan derit bukaan pintu rumah, segera sadar bahwa Kek Him telah pulang. Ia bersembunyi di bawah rumah panggung itu. Kek Him yang hanya ditemani panyot itu segera membuka tudung nasinya dan memakan kolang-kaling di dalam panci sambil duduk di atas tikar pandan dan menikmati makanannya. Buah kolang-kaling itu sangat licin, sedangkan Kek Him tidak punya gigi. Dia berusaha untuk mengunyah kolang-kaling itu, tapi tidak bisa. Sambil makan, ia mengumpat-ngumpat karena kolang-kaling yang ia makan berlari ke kanan dan ke kiri.
“Di mana kamu, mau lari kemana, kalau dapat aku makan kamu. Hayo-hayo lari kemana, heuh, heuh..”
Spontan saja pencuri yang ada di bawah kolong rumah terkejut dan lari pontang-panting mendengar suara umpatan Kek Him yang sangat keras itu. Ia mengira umpatan itu ditujukan kepadanya. Sangking ketakutannya, pencuri tadi tidak melihat jalan yang sedang dilaluinya sehingga ia bertubruknya gerombolan remaja yang baru pulang dari balai.
Melihat si pencuri lari tunggang langgang dari rumah Kek Him, para remaja yang tidak mengenal orang itu mulai curiga. Apalagi, lelaki ya menabrak mereka bukan penduduk kampung tersebut. Mereka dapat mengambil kesimpulan bahwa itu pencuri. Mereka segera menangkap pencuri itu dan membawanya ke balai untuk diinterogasi.
Keesokan harinya, Kek Him yang tidak tahu apa-apa didatangi oleh remaja mesjid, lalu menanyakan kejadian semalam dan apakah ada barang-barang Kek Him yang hilang. Kek Him yang setengah terkejut itu mengatakan tidak ada barang yang hilang, ia cuma bilang kalau semalam ia mendengar suara gaduh di bawah rumahnya. Tapi, pikirnya mungkin itu cuma babi, tanpa memperdulikan hal itu, ia larut dalam kolang-kalingnya sambil berbicara sendiri-sendiri dan mengumpat-ngumpat karena tidak bisa mengunyah.
Si remaja yang mendengar cerita itu tertawa dan langsung mengerti, mengapa si pencuri kabur dan tidak jadi mencuri. Kemudian, ia segera kembali ke balai lagi untuk menceritakannya kejadian itu pada pak keuchik. Semua orang yang ada di balai itu tertawa mendengar kekonyolan kejadian tersebut dan pencuri itu dilepaskan dengan syarat tidak mengulangi perbuatannya lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar