Cerita Rakyat dari : Aceh
Pada sebuah tepian danau, dekat Hutan Kebijaksanaan, tinggallah
seekor itik. Sementara itu, berjalan beberapa langkah ke sebelah kanan,
nampak sekawanan angsa tertawa-tawa dan berenang menimbulkan bunyi
kecepuk air. Si Itik hanya memandang sekilas pada kawanan angsa tadi
sebelum bergegas berjalan sambil menjinjing keranjang.
“Pagi, Bu Itik! Hendak ke mana sepagi ini?” seekor berang-berang
muncul dari dalam air, menyapa Si Itik. Namun, Berang-berang sama sekali
tidak melihat ke arah wajah Si Itik.
“Oh..Aku hendak berbelanja. Sebentar lagi musim dingin tiba. Jika
tidak bersiap-siap dari sekarang, takutnya nanti, persedian makananku
habis.” Si Itik mencoba menjawab seramah mungkin, meskipun hatinya
bergejolak ketika melihat kejijikan di wajah Berang-berang.
Usai basa-basi yang lain, Si Itik kembali melanjutkan perjalanannya. Wajahnya nampak murung saat melewati kawanan angsa.
“Teman-teman, lihat! Sang Putri hendak berbelanja sepertinya.
Semuanya memberi hormat!” salah satu angsa yang memberi komando tadi,
memperagakan cara hormat yang dimaksud. Berbalik arah hingga
membelakangi Si Itik, kemudian dengan sekuat tenaga kaki dikayuh ke
belakang. Serentak, angsa-angsa yang lain melakukan hal yang sama. Dan
dalam sekejap, Si Itik telah basah kuyup oleh cipratan air danau.
Keranjangnya terjatuh.
Kawanan angsa itu tertawa girang.
“Kalian sungguh jahat!” berlinangan air mata, Si Itik meraih
keranjangnya dan berlari menjauh. Namun, Si Itik terpeleset dan terjatuh
dengan bunyi gedebuk yang keras. Dari kejauhan, kawanan angsa semakin
gembira. Mereka mengepak-ngepakkan sayapnya.
Si Itik berusaha untuk bangkit. Terpincang-pincang, dia mencari
keranjangnya. Si Itik masih menangis. Ini bukan kali pertama dia
diperlakukan semena-mena oleh kawanan angsa tadi. Tapi, selama dua tahun
terakhir, semenjak dia terlihat berbeda dari angsa-angsa itu, hampir
setiap hari mereka mengganggunya.
“Sampai kapankah penderitaanku ini akan berakhir?” Si Itik sejenak
berhenti dan berdiri menatap permukaan air danau. Kilau matahari
memantulkan dirinya di sana. Bahkan, dirinya sendiri pun takut saat
melihat sosoknya yang dipantulkan air danau.
Segerombolan burung melintas di atas Si Itik.
“Eh, Putri buruk rupa sedang bercermin. Kayaknya dia butuh bedak. Ayo teman-teman, kita bantu dia.”
Si Itik terlambat menghindar. Gerembolan burung itu dalam waktu
bersamaan buang air besar di atas kepala Si Itik. Dan burung-burung itu
pun terbang menjauh. Hanya tawa mereka yang masih sayup-sayup terdengar.
Dalam keadaan basah kuyup dan kepalanya dipenuhi kotoran burung, Si
Itik memutuskan melewati Hutan Kebijaksanaan. Meskipun sedikit lebih
jauh dan berisiko bertemu serigala, Si Itik nekat menyusuri jalan
setapak yang ada di tengah Hutan Kebijaksanaan.
Baru berjalan beberapa langkah, Si Itik tanpa sadar telah
terperangkap. Kakinya terjerat dengan tali yang khusus dipasang oleh
para pemburu. Si Itik mencoba untuk tidak panik. Tanpa menimbulkan
suara, dia melihat ke sekeliling dengan hati-hati.
Bernapas sedikit lega karena dia tidak melihat adanya serigala di
sekitar itu, Si Itik sekuat tenaga berusaha melepaskan tali yang melilit
kakinya. Namun, tepat ketika tali itu hampir lepas, seekor serigala
nampak berjalan ke arahnya dengan lidah menjulur.
Si Itik terlihat gemetaran.
“Apa kabar, Bu Itik? Bu Itik nampak semakin gemuk, berarti Bu Itik
sehat, ya!” Serigala seolah sengaja memamerkan gigi geliginya yang
nampak berkilat.
“Tolong, wahai Pak serigala yang baik hati! Jangan Makan saya. Saya ini
tidak gemuk. Malahan, saya ini sangat jelek. Saya takut, jika Pak
Serigala yang baik hati memakan saya, perut Pak Serigala akan sakit.”
Serigala tertawa dengan sangat keras mendengar permohonan Si Itik.
“Maafkan aku, Bu Itik. Sudah tiga hari ini, aku tidak makan apa-apa.
Bukankah, ketika kita lapar, semuanya terasa enak? Lagi pula, taktik
seperti tadi sudah pernah dilakukan oleh nenekmu. Ibuku selalu bercerita
tentang nenekmu yang dulunya berhasil mengelabui kakekku.”
Serigala kembali tertawa, bahkan lebih keras dari sebelumnya. Dan
serigala pun melompat. Sesaat sebelum terkaman itu berhasil, bunyi
tembakan seakan mengoyak pagi yang masih basah. Sang Serigala tergeletak
setelah peluru para pemburu menembus tubuhnya.
“Untung kita datang tepat waktu. Jika tidak, buruan kita sudah
dimakan oleh serigala itu. Oh lihat, apa yang berhasil kita tangkap!
Seekor itik. Lumayan enak untuk digulai.”
Dan berakhirlah penderitaan Si Itik. Para pemburu menangkapnya dan
membawa Si Itik ke arah perkampungan. Setengah jam kemudian,
samar-samar, tercium bau gulai itik. Hutan Kebijaksanaan dengan danau di
pinggirnya hanya melihat kejadian tadi dalam diam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar