Cerita Rakyat dari : Aceh
Pada zaman dahulu, tersebutlah seorang raja yang memimpin wilayah
Aceh. Sang Raja memimpin negeri dengan adil dan bijaksana. Ia didampingi
oleh permaisuri yang cantik jelita dan berhati mulia. Sang Raja dan
Permaisuri hidup berbahagia. Apalagi Permaisuri sedang mengandung anak
pertama mereka. Setelah sembilan bulan, sang Permaisuri melahirkan
seorang bayi laki-laki yang tampan. Betapa bahagianya sang Raja. Calon
penggantinya kelak telah lahir. Bayi tersebut kemudian dinamakan Banta
Seudang.
Belum genap satu bulan usia Banta, tiba-tiba sang Raja sakit.
Badannya panas dan matanya menjadi buta. Cobaan itu amat menyedihkan
sang Raja dan Permaisuri. Beberapa tabib telah dipanggil untuk mengobati
sang Raja.
Namun, semua usaha tabib tak membuahkan hasil. Sang Raja amat resah.
Bila ia masih buta, tentu tidak leluasa memimpin rakyatnya, padahal
putranya masih bayi. Ia khawatir rakyatnya akan telantar. Maka sang Raja
menyerahkan tampuk kekuasaannya kepada adiknya sampai Banta dewasa.
Rupanya adik Raja sangat jahat. Tak lama setelah kekuasaan diserahkan
kepada adik Raja, ia menyuruh Raja dan keluarganya tinggal di sebuah
rumah sederhana yang letaknya jauh dari istana. Ia sengaja mengasingkan
keluarga Raja agar ia dapat selamanya berkuasa. Setiap hari, adik Raja
mengirimkan satu tabung bambu beras bersama ikan dan sayuran sebagai
jatah makan untuk keluarga itu. Kehidupan Raja dan keluarganya yang dulu
berkecukupan berubah menjadi kekurangan. Mereka harus bergantung kepada
pemberian adik Raja. Kadang-kadang, adik Raja tak mengirimkan jatah
sama sekali sehingga keluarga Raja kelaparan. Namun demikian, sang Raja
dan Permaisuri tetap bersabar. Mereka yakin, siapa yang berbuat jahat,
suatu saat akan menerima hukumannya.
Waktu terus berlalu. Banta pun tumbuh dalam keadaan serba kekurangan.
Ia tumbuh menjadi pemuda tampan yang pemberani, jujur, dan tahu sopan
santun. Ia pun tahu penderitaan yang dialami keluarganya akibat
kejahatan pakciknya sendiri. Lama-kelamaan, Banta tidak tega menyaksikan
penderitaan keluarganya. Apalagi saat melihat ayahnya yang buta. Ia
bertekad akan mencarikan obat untuk ayahnya.
“Ayah, Ibu, Banta ingin sekali merantau guna mencari obat bagi ayah,”
kata Banta. Raja dan Permaisuri melepaskan kepergian Banta dengan doa.
Singkat cerita, Banta sampai di sebuah hutan. Suatu saat, ia salat dan
menjadi makmum seorang aulia. Selesai salat, Banta bercerita kepada
aulia itu bahwa ia ingin mencari obat bagi ayahnya yang buta. Aulia itu
menyarankan untuk mengambil bunga bangkawali yang terdapat di sebuah
kolam sebagai obat bagi ayah Banta.
Maka berjalanlah Banta menuju hutan yang dimaksud oleh aulia itu.
Rupanya di tengah hutan itu terdapat sebuah taman yang indah dengan
sebuah kolam berair jernih dan sebuah gubuk sederhana. Di dalam gubuk
itu tinggal Mak Toyo, penjaga taman itu. Sebenarnya, taman itu milik
seorang raja yang tinggal amat jauh dari hutan itu. Sang Raja memiliki
tujuh putri yang semuanya berparas cantik. Konon, setiap putri itu
memiliki baju ajaib. Bila baju itu dikenakan maka orang yang memakainya
dapat terbang seperti burung.
Banta kemudian tinggal bersama Mak Toyo. Setiap hari ia merawat taman
itu. Suatu Jumat, tujuh putri Raja mandi di kolam. Banta amat terpesona
dengan kecantikan mereka. Saat mereka beristirahat, Mak Toyo turun ke
kolam, kemudian menepuk air tiga kali. Tiba-tiba muncul bunga
bangkawali.
“Mak, bolehkah bunga bangkawali itu kuminta untuk obat ayahku?” pinta Banta.
Mak Toyo memberikannya. Betapa senang hati Banta. Ia ingin segera
pulang. Namun sebelumnya, ia ingin menikahi salah satu putri Raja. Maka
Banta menunda kepulangannya.
Hari Jumat berikutnya, ketujuh putri Raja itu kembali mandi di kolam.
Saat mereka mandi itulah, diam-diam Banta mencuri salah satu baju
terbang mereka yang tergeletak di atas batu. Saat ketujuh putri itu
ingin pulang, mereka kebingungan karena baju terbang si Bungsu hilang
sehingga tak bisa pulang. Terpaksa si Bungsu tinggal bersama Mak Toyo.
Setelah beberapa lama tinggal di rumah Mak Toyo, si Bungsu jatuh
cinta pada Banta yang baik hati itu. Demikian pula Banta. Keduanya
kemudian menikah. Beberapa hari setelah pernikahan, Banta mengajak si
Bungsu dan Mak Toyo menemui orangtuanya. Tak lupa, bunga bangkawali ia
bawa serta.
Kedatangan Banta disambut gembira oleh Raja dan Permaisuri. Banta segera
mengambil semangkuk air. Bunga bangkawali ia rendam di dalamnya,
kemudian airnya dikompreskan ke wajah sang Ayah. Tak lama kemudian,
ayahnya dapat melihat kembali.
Keesokan harinya, ayah Banta datang ke istana menemui adiknya.
Melihat kedatangan kakaknya yang tidak buta lagi, sang Adik amat gugup.
Ia juga merasa bersalah karena telah menelantarkan kakak beserta
keluarganya itu.
“Maafkan saya, Bang. Selama ini saya telah menelantarkan keluarga Abang.
Sekarang saya serahkan kembali tahta Abang,” kata sang Adik.
Ayah Banta pun kembali menjadi raja. Banta hidup berbahagia bersama
ayah ibu beserta istrinya dan Mak Toyo. Beberapa waktu kemudian Banta
dilantik menjadi raja menggantikan ayahnya. Ia memimpin negeri dengan
adil dan bijaksana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar