Sabtu, 09 April 2016

Amat Rhah Manyang

cerita rakyat aceh


Tersebutlah sebuah desa yang berada di sekitar Krueng (Sungai) Peusangan, desa yang menyimpan ribuan misteri dan cerita yang menjadi tauladan dalam hidup. Cerita yang akan terus dikenang oleh masyarakat disana dan diceritakan kepada masyarakat lainnya juga. Desa yang berjejer rumah – rumah gubuk di sepanjang jalan dalam desa ini terkenal dengan seorang pemuda yang tampan, bijak, pandai, rajin dan berbakti kepada orang tua.
 
Amat (Ahmad) Rhang Manyang, itulah nama pemuda yang mulai menginjak usia remaja ini. Remaja yang biasa disapa Amad ini menyibukkan diri dalam kesehariannya sebagai buruh tani di desa. Hanya menamatkan pendidikan dasar di dayah desa seberang, dia menggali ilmu – ilmu yang terpendam di lingkungannya, belajar pada alam dan bertanya pada Tuhan. Tak ada keputusasaan dalam menjalani hidup meski terkadang harus makan nasi 2 kali sehari, baginya itulah rezeki yang sudah ditentukan setelah berusaha dan berdoa.

Waktu yang terus berputar telah membawa Amat sebagai pemuda yang di sanjung di desa. Pergaulan yang telah luas mengajari Amat untuk hidup lebih mandiri lagi. Apalagi sekarang dia hanya tinggal di sebuah gubuk bambu dengan ibunya yang telah renta. Penghasilan dari buruh tani mulai terasa kurang dan ini harus diatasi oleh Amat.

“Mak, bukan Amad tidak lagi bisa bersyukur atas rezeki yang telah diberikan Allah, tetapi alangkah baiknya jika Amad mencari kerja ke luar desa”, Kata Amad pada suatu sore pada Mamaknya sambil menikmati ubi rebus dengan duduk beralaskan tikar tua.

“Tapi kita masih bisa mencari rezeki disini Nyak”, Jawab Mamak

“Betul Mak, bukan pula aku bosan bekerja seperti ini di desa, tetapi bukankah berusaha itu wajib? Bukankah bekerja itu juga ibadah? Jadi apa salahnya jika Amad pergi merantau?”, Ahmad berbicara datar sambil menyandarkan kepalanya ke lutut Mamaknya yang melukiskan dekatnya dua insan ini dalam kemanjaan Ibu dan Anak.

Sambil membelai lembut rambut ikal di kepala Amad dan memandang dalam – dalam ke anaknya, Mak Minah berujar “Haruskah Ananda merantau meninggalkan Emakmu disini sendiri, dalam kesepian dan dalam kepapaan?”.

Amad tersentak dengan kata – kata yang keluar dari bibir perempuan yang sedang mengusap lengan legamnya itu.

“Mak, bukan begitu maksud Amad, anak mana yang tega meninggalkan ibunya jika kepergiannya itu tidak mendesak dan untuk kepentingan Emaknya juga? Mak, Amad merantau untuk membahagiakan Emak, untuk hidup seperti hidup orang lain. Bahagia dunia akhirat”. seakan hendak bersimpuh dengan meneteskan airmata ketulusan Amad berujar dengan terbata – bata takut hati Emaknya sedih.

Setelah mengobrol cukup lama, akhirnya Mak Minah tak bisa menahan lagi keinginannya anak satu – satunya dan penyangga hidupnya selama ini. Tempat dia bercerita dan menyunggingkan senyum.

Hari terus berlalu hingga tibalah saatnya Amad berangkat dengan perlengkapan seadanya. Dia hendak merantau ke negeri seberang dan perjalanan akan dilalui dengan Kapal air dari Krueng Peusangan.

“Nyak, rajinlah beribadah disana, rajinlah berdoa dan tegarlah dalam berusaha. Hidup di negeri orang harus membawa bekal ilmu dan akhlak dari asalmu. Janganlah mereka mengubahmu tapi tularkan kebaikan pada mereka”. ujar Mak Mina.

“Mak, akan Amad ingat pesan Mak sebagai pendamping dalam bekerja. Amad hanya akan pergi beberapa tahun dan akan kembali untuk bersama Emak. Jaga diri Emak baik – baik”.

Mereka saling melemparkan kata-kata perpisahan hingga suarasirine kapal mulai terdengar. Memegang tangan Mak Minah, memeluk dan mencium kening penuh rona tua dan akhirnya berlutut mencium kaki Emaknya, Ahmad pamitan dan berangkat merantau. Mak Minah masih berdiri di dermaga menatap hilangnya kapal yang ditelan berlikunya Krueng Peusangan. Airmata bercucuran karena inilah pertama mereka berpisah setelah hidup belasan tahun bersama-sama. Ketika hari beranjak senja, Mak Minah pun melangkahkan kaki-kaki gontainya menuju gubuk tua.

Kapal terus berlayar menyusuri sungai yang jernih dengan lompatan ikan – ikan didalamnya. Amad terpesona dengan keindahan panorama sungai dan hutan disekelilingnya yang rimbun, hijau dan anggun. Kini kapal telah membelah laut menuju negeri seberang, negeri idaman Amad, negeri yang akan mewujudkan cita-citanya.

Singkat cerita akhirnya Amaad tiba dinegeri seberang dan bekerja pada seorang saudagar kaya. Dia diterima sebagai tukang pikul barang-barang di dermaga. Amad bekerja dengan tekun, berdoa dengan ikhlas dan mendoakan kedua orang tuanya.

Hari berganti hari, bulan berganti bulan dan tak terasa lebih sepuluh almanak Ahmad telah hidup di rantau orang. Negeri yang kini telah ditaklukan dengan ilmu dan nasehat yang pernah diajarkan Mak Minah. Ahmad telah menjadi orang terpandang di sana, dan kini juga telah menjadi bangsawan setelah mempersunting anak saudagar tempatnya bekerja. Tuan Amad kini harus mengurus usaha mertuanya dan itu sangat menyita waktu. Tak ada lagi waktu beribadah dan tak dibutuhkan lagi berdoa. Semua terkikis tergores batu kemewahan dan kenikmatan dunia.

“Kanda, Dinda rindu akan kampung halaman Kanda!” istri Amad berkata dengan kejujuran ketika mereka berjalan di taman yang mewah.

“Tapi Kanda sibuk sayang, tak ada waktu untuk bisa meninggalkan ini semua” Amad berekilah

“Bukankah Kanda pernah berjanji akan membawa Dinda berkunjung ke Negri Kanda dan bertemu Ibunda disana? Bukankah janji harus ditepati?” Istri Amad mulai merayu dengan kata – kata manis sehingga luluhlah hati Amad.

Dalam kesendirian Amad juga merindukan kampung halamannya, Krueng Peusangan, Emaknya, dan sahabat-sahabatnya.

Setelah semua dipersiapkan, berangkatlah sebuah kapal mewah untuk mengarungi lautan menuju ke Tanah Rencong, tanah kelahiran Tuanku Ahmad Rahmanyang. Perlengkapan yang berkecukupan dan pengawal yang gagah berani turut menyertai pelayaran ini.

“Kanda, inikah tanah yang pernah Kanda ceritakan? Inikah hutan dan sungai yang indah itu?” ujar Istri Amad dengan takjubnya.

“Iya Dinda. Dan sebentar lagi kita akan sampai di Istana Kakanda Ya..!”, Amad menceritakn kisah bahwa dia adalah anak saudagar dari bandar Peusangan.

Setibanya di dermaga Krueng Peusangan semua kru dan pengawal turun dan melihat keindahan alam Peusangan.

Mak Minah yang mendengar kepulangan Amad bergegas menuju dermaga, tak lupa juga dia membungkuskan makanan kesukaaan anaknya. Hatinya berbunga – bunga dan rasa sakit yang selama ini di deritanya seakan sembuh total.

“Alhamdulilah Ya Allah, Engkau telah kabulkan doa hamba ini…!”, bisik lirih hati Mak Minah sambil melangkah lamban ke dermaga.

Amad sedang bercanda dengan sahabat – sahabat lamanya, dengan penduduk yang masih mengenalnya dan suara wibawanya ketika Mak Minah juga tiba disana.

“Amad,, Amad,, Amad anakku!”, panggil Mak Minah sambil menyeruak dalam kerumanan manusia yang sedang meneriman bingkisan dari Amad.

“Amad, lihatlah Emakmu ini Nyak. Amad…!!” Mak Minah terus berteriak tapi Amad seakan tak mendengar sehingga istrinya berbisik.

“Kanda, ada ibu tua yang memanggil Kanda. Dia memanggil “anak” kepada Kanda, siapakah dia?” Bisik Istrinya

“Kanda tak kenal Dinda, mungkin penduduk baru disini..!”, kata Amad dengan suara yang terdengar oleh Emaknya.

“Amad, ini Emakmu Nyak!” kata Mak Minah lagi ketika mereka sudah berhadap hadapan.

“Emak, aku tak punya Emak seperti kamu, Orang tuaku adalah saudagar bukan fakir sepertimu”, Amad berontak dalam dirinya dan demi menjaga wibawa dihadapan Istri dan pengawalnya dia rela tak mengakui Emaknya.

“Amad, ini Emakmu, lupakah kamu kepada Emak?”, tanya Mak Minah sambil menangis.

“Aku tak lupa, tapi karena kau bukan Emakku maka aku tak kenal. Pengawal, tangkap perempuan ini dan seret dia jauh dari hadapanku!”, perintah Amad kepada pengawal.

Lalu beberapa pengawal menyeret Mak Minah, dengan muka basah airmata Mak Minah berdiri, melemparkan tongkat dan berujar

“Ya Allah, jika benar saudagar yang berdiri di depanku ini adlah Amad maka kutuklah dia bersama pengawal dan harta bendanya menjadi bukit …!”, doa Mak Minah terhenti ketika petir mulai menyambar. Ahmad tersentak tapi semua sudah terlambat, doa ibu renta begitu cepat dikabulkan terhadap anaknya yang durhaka tak mengakui Emaknya. Dalam sekajap Ahmad, Istrinya, Pengawalnya dan seluruh harta bendanya termasuk Kapalnya berubah dan menyatu menjadi sebuah Bukit.

Sampai sekarang di desa tersebut masih terlihat sebuah Bukit berbentuk kapal yang dinamai “Glee Kapai” (Bukit Kapal).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar