Zaman dahulu kala, di sebuah kampung, di negeri antah-berantah, tersebutlah sebuah keluarga kodok. Ayahnya seekor kodok tua, ibunya kodok juga. Mereka mempunyai anak seekor kodok betina berwarna hijau. Keluarga kodok tersebut hidup terasing di dalam hutan dan sangat miskin.
Ketika itu, kampung mereka sedang dilanda musim kemarau berkepanjangan. Kampung mereka kekeringan. Keluarga kodok itu sudah mencari air ke sana-sini, tapi tetap tidak menemukannya. Jangankan untuk mandi dan berendam seperti biasanya, untuk minum saja, mereka kesusahan. Kulit kelurga kodok itu mulai berkeriput, sebab sudah lama tidak pernah tersentuh air.
Suatu hari, anak kodok itu tak tahan lagi. Sudah lama dia menunggu kedua orangtuanya pulang, tapi tetap saja tidak membawa air. Akhirnya, pergilah anak kodok itu berjalan-jalan masuk hutan. Dia sudah jauh masuk hutan, melompat ke kiri, melompat ke kanan, tapi tetap tidak menemukan setetes air jua.
Matahari sudah tepat di puncak kepala. Badan anak kodok itu mulai serasa terpanggang. Tak tahan lagi, dia terseok-seok di bawah rumpun pakis, akhirnya dia ketiduran di sana. Pulas.
Baru sekejap ia pulas dalam tidurnya, belum pun sempat bermimpi, terdengar olehnya suara tapak sepatu beradu dengan tanah gembur di sekitar tempat itu. Anak kodok terbangun. Sambil kembali terseok-seok dalam hutan pakis, dia mengintip arah bunyi suara sepatu tersebut. Dari persembunyiannya, ia melihat serombongan pasukan sedang berkumpul, tidak jauh dari tempat anak kodok itu bersembunyi. Di antara kumpulan orang-orang tersebut, ada yang berkuda dengan mengenakan pakaian kebesaran. Tahulah ia, ternyata rombongan raja dari kampung seberang yang sedang berburu di hutan itu.
Tiba-tiba saja hati anak kodok yang masih hijau itu sangat gembira. Ia melihat raja menuju semak-semak rumpun pisang hutan. Dalam hati anak kodok, pastilah si raja hendak beteduh sembari meneguk minuman yang dibawanya. Ternyata salah. Raja pergi ke sebalik semak hanya untuk kencing. Tak ada minuman. Selesai kencing, raja beserta rombongan kembali melanjutkan perjalanan.
Iba benar hati anak kodok itu karena tidak mendapatkan setetes air pun dari rombongan raja. Kembali anak kodok tersebut berjalan terseok-seok menyusuri hutan. Sesekali ia menyandarkan tubuhnya di rerantingan di sekitar tempat tersebut. Dia melintasi bekas raja buang air kecil. Sesampainya di rumpun pisang tersebut, ia melihat ada bening di dalam sebuah tempurung kelapa. Ternyata air kencing raja tadi tertampung dalam tempurung kelapa tersebut. Anak kodok hijau yang sudah sangat dahaga, tak pikir panjang lagi. Melihat dalam tempurung kelapa bekas gigitan tupai itu ada air, ia segera meminum air tersebut, meskipun dia tahu betul kalau air yang diminumnya adalah kencing raja. Setelah meminum kencing raja, anak kodok pulang ke rumahnya.
Syahdan, lama-kelamaan, hari berganti hari, minggu beranjak mendatangkan bulan silih berganti, sudah dua bulan ternyata peristiwa anak kodok meminum kencing raja, berlalu. Tanpa disadari oleh anak kodok itu, perutnya kian hari semakin membesar dan mulai sakit-sakitan. Ayah dan ibunya mulai gelisah melihat anaknya yang mulai mengerang-erang kesakitan. Merintih kepayahan.
“Coba kamu ingat-ingat kembali anakku, barangkali kamu ada salah makan,” kata ayah kodok.
“Tak ada semacam apa pun yang ananda makan selain pemberian Ayah dan Bunda,” sahut anak kodok.
“Atau mungkin kamu salah minum,” sahut ibu kodok.
Kodok hijau diam. Ia mengingat-ingat sebentar. “Ayah, Ibu, seingat ananda, beberapa bulan lalu, waktu masuk hutan mencari air, ananda sempat meminum air kencing raja yang tertampung dalam tempurung kelapa. Itu ananda minum sebab ananda sudah sangat lelah dan kehausan. Maafkan ananda, Ayah, Ibu,” kata anak kodok, sedih.
Membuncahlah gelisah keluarga kodok tersebut. Usut punya usut, ternyata si kodok hijau yang mulai tumbuh dewasa itu sedang hamil. Dia mengandung anak raja, sebab minum kencing raja.
Keluarga itu semakin bertambah gelisah ketika menyadari kodok hijau hamil karena minum kencing raja. Kodok jantan hilir mudik mencari akal, sedangkan kodok betina berusaha menenangkan anaknya.
“Kalau memang kau hamil karena meminum kencing raja, sebaiknya kau pergi ke hutan di tempat kau minum kencing raja dahulu,” kata kedua orangtuanya.
“Ayah dan Bunda mengusirku?” ucap anak kodok dengan suara tersekat di tenggorokan.
“Kau harus pergi ke hutan tempat kau minum kencing raja dahulu. Ini sudah takdirmu,” tegas kodok jantan.
Suatu hari, di saat anak kodok itu tidak sanggup menahan lagi kesakitan dalam kandungannya, pergilah ia ke hutan, tempat dia meminum kencing raja dahulu. Untuk sampai ke sana, terkadang ia ngesot. Perutnya sudah melebihi besar dirinya sendiri.
Sesampainya di hutan yang pernah dilaluinya itu, kodok hijau yang sangat menyadari kalau dia akan melahirkan, segera mencari tempat bersandar agar mudah melahirkan anaknya. Semula dia mendekati pohon pakis. Dia minta izin untuk menyandarkan diri di bawah rumpun pakis tersebut.
“Kak pakis.. Kak pakis.. saya akan melahirkan. Izinkan saya bersandar sebentar di bawah rumpun Kakak ya?” ucap kodok hijau sekenanya sembari mendekati rumpun pakis.
“Jangan, Dok (sapaan kepada kodok), janganlah kau bersandar di tubuhku. Aku tak mau terkena darah kodok,” jawab pohon pakis.
Mendengar jawaban tersebut, akhirnya kodok hijau beranjak dari sana. Dia mendekati pula pohon pinang yang tak jauh dari pohon pakis tersebut. Kepada pohon pinang, si kodok hijau kembali mengutarakan maksudnya. “Kak pinang.. Kak pinang.. saya sangat lelah. Izinkan saya bersandar sejenak di pangkal pohon Kakak.”
“Jangan! Saya tidak mau pangkal batang saya jadi tempat sandar kodok bunting. Nanti saya tidak mau lagi berbuah,” jawab pohon pinang menganggap malang kalau dirinya kena getah kodok.
Pergilah lagi kodok tadi, beranjak dari pohon pinang itu, hingga sampailah ke pangkal pohon kelapa. Kepada pohon kelapa, kodok hijau tadi kembali meminta izin. “Kak kepala.. Kak kelapa.. saya sangat lelah. Saya mau bersandar sebentar di pangkal Kaka. Boleh ya?” kata kodok.
Namun, jawaban yang didapat kodok masih sama, pohon kelapa menolaknya dengan kalimat yang tak jauh berbeda dengan rumpun pakis dan pohon pinang.
Si kodok hijau akhirnya kembali merangkak sedikit demi sedikit dan bertemulah ia dengan pohon jambu. Sesampainya di urat pohon jambu, “Tidaklah saya mau kena darah kodok!” jawab pohon jambu tegas ketika kodok mengajukan maksudnya.
Lagi-lagi si kodok harus memapah perutnya yang semakin membesar. Terseok-seok ia dalam belukar hingga sampai ke rumpun keladi. Akan tetapi, kembali pula kehadirannya ditolak. “Nanti kalau badanku terkena lendir badanmu, Dok, getahku bisa-bisa tidak gatal lagi,” kata rumpun keladi.
Akhirnya, dengan hati sedih berselimut perih, kodok hijau itu meneruskan perjalanannya. Matanya mulai basah. Peluh mengucur di seluruh tubuhnya. Semua pohon dalam hutan itu sudah dijelajahinya, tapi tak satu pohon pun mau menerima si kodok untuk bersandara melepas lelah. Nyaris si kodok putus asa, sementara tubuhnya semakin lama kian membesar, tak serupa lagi dengan kodok hijau umumnya. Ia merasakan perutnya semakin berat.
Singkat kisah, sampailah si kodok pada pohon asam yang berdaun rindang. Seingatnya, hanya pohon asam yang belum dimintanya izin untuk bersandar. “Kak asam.. Kak asam.. habis hutan ini sudah saya keliling, rata pohon dan tumbuhan saya jumpai, tak satu pun yang mau menjadi teman saya, memberikan tempat bersandar kepada saya untuk melepas lelah, walau hanya sejenak. Padahal, saya sudah sangat sekarat akan melahirkan. Lihatlah perut saya ini, Kak asam,” ujar kodok mengiba sambil terisak.
Pohon asam merasa kasihan sekali melihat keadaan kodok hijau tersebut. Akhirnya, pohon asam berdaun rimbun itu mengiznkan si kodok bersandar di bawah pangkal pohonnnya. Di bawah pohon asam itulah si kodok melahirkan anaknya.
Konon, di istana raja yang pernah kencing dalam hutan tempo hari, sedang terjadi sesuatu. Raja sedang dilanda hasrat ingin makan daging kerbau. Tubuhnya sedang lemah. Maka diperintahkanlah salah seorang hulubalang kerajaan pergi ke hutan mencari kerbau. Hulubalang raja yang pergi itu bernama Slamet. Slamet masuk hutan yang pernah dilaluinya bersama raja ketika berburu dulu. Slamet membawa empat orang pengawal.
Syahdan, setelah melakukan beberapa lama perjalanan, tibalah Slamet di dekat kodok yang baru saja melahirkan. Kerbau belum ia temukan, tiba-tiba terdengar sebuah suara dari balik semak-semak. Suara itu memanggil-manggil namanya.
“Slamet, ambillah anak ini. Ini anak raja,” kata suara dari balik daun pakis, dekat pohon asam.
Slamet tertegun. Ia bingung sambil mencari-cari asal suara, tapi tak didapatinya seorang manusia pun di sekelilingnya. Bulu kuduk Slamet dan empat pengawalnya mulai berdiri.
“Slamet, ambillah anak ini. Ini anak raja,” suara itu kembali berbunyi seperti memerintah Slamet.
Slamet kembali memutarkan pandangannya, mencari asal suara. Namun, tetap tak ditemukannya seorang manusia jua. Slamet melihat ke kanan, ke kiri, ke belakang, ke depan, ke bawah, tetap tak ada sesiapa pun. Ketika ia melihat ke atas, terkejutlah dia. Rimbunan daun asam yang sebelah Utara berkilau. Setelah diamatinya dengan saksama, cahaya itu ternyata memantul dari tanah.
Slamet segera mendekati asal cahaya yang memantul di daun asam tersebut. Ketika sampai di pangkal pohon asam itu, ia semakin tercenung. Matanya menatap tajam ke arah sesosok bayi mungil yang tergeletak di atas daun talas. Setelah mengamati keadaan si bayi sejenak, tahulah Slamet bahwa anak itu baru saja dilahirkan. Bekas lendir serupa darah pada tubuh si bayi mulai mengering. Bekas lendir itulah yang memantul ke daun-daun asam akibat pantulan sinar matahari. Slamet kembali memandang ke sekelilingnya. Suara itu kembali terdengar. “Slamet, ambillah anak itu. Itu anak rajamu,” kata suara tersebut.
Slamet mendekati daun pakis tempat suara itu berasal. Semula dikiranya pakis hutan itu yang berbicara. Akan tetapi, setelah disibaknya pohon-pohon pakis, didapatinya seekor kodok hijau tengah memandang ke arahnya. Lama Slamet menatap kodok hijau itu.
“Apakah kau yang berkata tadi, Kodok?” tanya Slamet.
“Benar,” jawab si kodok sambil menggoyang-goyangkan dadanya. “Ambillah anak itu. Itu anak rajamu.”
“Bagaimana mungkin?” tanya Slamet heran.
Kodok menceritakan ihwal yang pernah terjadi di hutan itu beberapa bulan lalu. “Raja pernah kencing di hutan ini. Kencingnya tertampung dalam tempurung. Karena sangat kelelahan dan kehausan, aku meminum kencing raja yang tersisa dalam tempurung kelapa. Aku tidak menyangka akan hamil karena meminum kencing raja. Namun, itulah kenyataannya, anak ini adalah anak rajamu.”
Mendengar pengakuan kodok, Slamet paham. Ia urungkan niatnya mencari kerbau. Slamet segera pulang dan memberitakan kabar yang dialaminya dalam hutan kepada baginda raja. Bukan main terkejutnya raja mendengar penuturan Slamet, hulubalang kepercayaannya. Namun kemudian, raja berucap dengan bijaksana. “Kembalilah ke hutan itu, bawa anak dan kodok itu ke istana. Kodok itu benar, aku akan memelihara anaknya.”
Slamet akhirnya kembali ke hutan menemui si kodok hijau. Kepada kodok, Slamet mengutarakan keinginan raja. Hatta, kodok beserta bayi mungil nan cantik itu dibawa ke istana.
Setibanya di istana, bayi diletakkan raja dalam kamar khusus. Kamar yang ditaburi bunga-bunga dan wewangian. Sementara itu, si kodok disembunyikannya di balik pintu kamar tersebut. Lama kelamaan kodok tak tahan tinggal di balik pintu. Dia mengutarakan ketidaktahanannya kepada raja.
“Raja yang bijaksana, jangan sembunyikan aku dibalik pintu. Aku tidak tahan dengan kegelapan,” kata kodok.
Mendengar permintaan kodok, raja akhirya meletakkan kodok sekamar dengan bayi mungil. Antara bayi dan kodok diberi tirai pembatas berupa kulit goni. Kodok diletakkan di atas goni tersebut.
Tanpa disadari oleh raja dan orang kerajaan, setiap malam si kodok bangun dari tidurnya. Dia bangun tepat tengah malam, di saat orang-orang tertidur lelap. Kodok tersebut bangun menyusui bayinya. Hal itu menimbulkan keheranan di benak raja. Mengapa bayi tersebut tidak pernah menangis. Padahal, tak ada yang menidurkannya. Aneh, pikir raja. Seharusnya, bayi itu menangis, seperti bayi-bayi lain.
Raja yang sudah berselimut heran, suatu malam sengaja mengintai kamar si bayi. Saat itu, dilihatnyalah tubuh si kodok pecah. Ketika kulit kodok itu terbuka, keluar seorang perempuan berparas cantik. Perempuan itu bangkit dan beranjak ke samping bayi. Kemudian, dia mengeluarkan payudaranya. Si perempuan yang keluar dari kulit kodok itu menyusui bayi tersebut.
Lama raja mengamati ihwal aneh itu. Sadarlah ia, ternyata kulit kodok tersebut tak lebih dari sekedar sarung, sedangkan di dalamnya bersembunyi perempuan berkulit putih lagi molek parasnya. Pipi si perempuan sangat putih, dagunya bak sarang tempua bergantung, dan rambutnya hitam terurai rapi hingga sepinggang.
“Pantaslah anakku tidak pernah menangis. Rupanya kodok itu memberikan susunya setiap malam,” kata raja dalam hatinya.
Selesai menyusui, perempuan itu kembali ke tempatnya. Dia masuk kembali ke dalam baju kodok yang ternyata adalah sarungnya.
Keesokan malam, raja kembali mengintai lagi kamar kodok. Dilihatnya kembali kodok itu berubah jadi manusia yang sangat cantik. Perempuan itu menyusui kembali si bayi. Demikian saban malam, hingga raja tak tahan lagi, di sebuah malam, raja memergoki si perempuan yang hendak kembali ke sarungnya setelah menyusui si bayi.
“Pantaslah anakku tidak meangis. Sekarang aku tahu. Ternyata kau selalu bangun di tengah malam, di saat semua orang tertidur. Kau bukan kodok, tapi seorang putri. Aku tidak akan membiarkanmu setiap malam selalu begini. Aku akan menikahimu. Aku akan mengangkatmu jadi permaisuriku,” ujar raja seraya mendekati perempuan itu.
Alangkah terkejutnya si perempun. Namun, malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih. Dia tidak dapat membantah keinginan raja. Dia pun menyetujui maksud raja yang akan mempermaisurikan dirinya. “Aku bersedia menikah dengan raja kalau memang itu sudah menjadi keputusan raja. Tapi, aku punya satu permintaan,” ujar perempuan itu. “Katakanlah. Aku sudah tak sabar mendengarnya. Apa permintaanmu wahai tua putri,” sahut raja.
“Setelah kita menikah nanti, bakarlah sarung kodokku ini di halaman yang luas.”
Singkat cerita mereka pun menikah. Pesta diadakan sangat meriah. Seorang raja baik hati menikah dengan seorang perempuan cantik. Orang-orang kampung pun berdatangan.
Selesai pesta pernikahan, raja membawa sarung kodok ke tengah halaman luas. Di tengah halaman, raja membakar sarung tersebut. Suara letusan pun memecah. Pecahan sarung kodok yang sudah terbakar itu membentuk harta benda. Ada yang jadi beras, emas, kayu, batu, bunga, selimut, pakian. Bahkan, ada yang meledak dan jelaganya terjatuh ke sungai, maka jadilah kerbau. Semua bunyi yang berasal dari pecahan sarung kodok yang terbakar itu selalu jadi sesuatu. Singkatnya, mereka menjadi sangat kaya raya. Akhirnya, raja itu pun hidup bahagia bersama tuan putri bersarung kodok.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar