Dahulu,
di Lembah Baliem hiduplah sebuah suku yang bernama suku Walait. Lembah
Baliem yang berada di puncak Gunung Jayawijaya ini dikelilingi oleh
hamparan hutan lebat. Di dalam hutan itu banyak terdapat binatang buas,
terutama babi hutan. Itulah sebabnya, sebagian besar warga suku Walait
bekerja sebagai pemburu babi hutan. Sebagian hasil tangkapannya dimakan
untuk lauk sehari-sehari, dan sebagian yang lain untuk diternakkan.
Di
antara penduduk suku Waliat ada seorang gadis bernama Jelita. Ia hanya
tinggal bersama dengan ayahnya karena ibunya telah meninggal dunia.
Sehari-harinya, gadis cantik itu bekerja sebagai penggembala babi,
sedangkan sang Ayah pergi ke hutan untuk mencari kayu, umbi-umbian, dan
hasil hutan lainnya.
Sang
Ayah selalu berpesan kepada Jelita agar tidak menggembalakan babi di
sekitar Danau Walait yang berada tidak jauh permukiman penduduk.
“Jelita, putriku! Jangan sekali-kali kamu menggembalakan babi di sekitar danau itu!” ujar sang Ayah.
“Baik, Yah,” jawab si Jelita.
Suatu
hari, Jelita lupa pada pesan ayahnya. Ia membiarkan babinya berkeliaran
di sekitar Danau Walait. Rerumputan di sekitar danau itu memang tumbuh
subur dan hijau karena tak seorang pun yang berani menggembalakan babi
di sana. Sambil menunggu babi peliharaannya merumput, gadis cantik itu
duduk berteduh di bawah sebuah pohon. Tak berapa lama kemudian,
babi-babinya tiba-tiba mati bergelimpangan setelah memakan sesuatu di
tepi danau itu. Melihat kejadian tersebut, Jelita menjadi panik.
“Aduh, Ayah pasti akan marah sekali jika mengetahui hal ini,” gumam si Jelita.
Dengan
perasaan takut, Jelita pulang ke rumah untuk memberitahukan kejadian
itu kepada ayahnya. Sang Ayah mendengar kabar buruk itu pun menjadi
murka.
“Dasar
anak tidak bisa diatur!” hardik sang Ayah, ”Ayah sudah melarangmu
menggembala di sana, tapi kamu tidak mendengar nasehat Ayah. Pergi dari
rumah ini!”
“Maafkan
Jelita, Ayah! Jelita benar-benar lupa pada nasehat Ayah. Ampun Ayah,
jangan usir Jelita! Jelita tidak punya siapa-siapa lagi selain Ayah,”
rengek Jelita di hadapan ayahnya.
Meskipun
Jelita sudah merengek-rengek, sang Ayah tetap mengusirnya. Dengan hati
yang hancur, gadis yang malang itu pun pergi meninggalkan rumahnya.
Karena bingung harus pergi ke mana, ia pun memutuskan untuk pergi ke
Danau Walait. Di pinggir danau itu, ia duduk termenung memikirkan
nasibnya yang malang.
“Ya, Tuhan! Tak ada gunanya lagi hamba hidup di dunia ini. Hamba tidak memiliki siapa-siapa lagi,” keluh gadis itu.
Usai
berkata demikian, Jelita mencebur ke dalam Danau Walait. Atas kuasa
Tuhan, ia berubah menjadi seekor ikan mungil. Sejak itulah, itulah gadis
yang telah berbuah menjadi ikan itu hidup di danau itu.
Sementara
itu, di seberang Danau Walait, tinggal pula sebuah suku bernama Akeima
yang dipimpin oleh Hulogolik. Jumlah wanita di suku Akeima ketika itu
masih sedikit sehingga banyak laki-laki yang belum menikah, termasuk
Hulogolik. Suatu ketika, Hulogolik pergi bertapa di sebuah gua untuk
meminta kepada Dewata agar dianugerahi seorang istri untuk melanjutkan
keturunannya. Ketika ia asyik bersemedi, tiba-tiba ia mendengar suara
bisikan di telinganya.
“Wahai, Hulogolik. Jika kamu mendapatkan istri, usirlah suku Walai yang ada di sekitar Danau Walait!” seru suara itu.
Hulogolik
pun menuruti pesan gaib itu. Bersama dengan warga sukunya, Hulogolik
memerangi suku Waliat dan berhasil mengusir mereka dari tempat itu.
Karena kelelahan, kepala suku itu beristirahat di bawah sebuah pohon di
tepi Danau Walait hingga terlelap. Dalam lelapnya, ia mendapat perintah
dari Dewa agar mencopot kepalanya.
“Wahai,
Hulogolik. Penggallah kepalamu hingga terpisah dari tubuhmu. Setelah
itu, masuklah ke dalam Danau Walait!” seru sang Dewa.
Begitu
terbangun, Hulogolik segera menuruti perintah itu. Dengan tubuh tanpa
kepala, ia segera mencebur ke dalam danau. Ikan-ikan yang ada di dalam
danau itu pun masuk ke dalam tubuhnya hingga penuh. Setelah kembali ke
darat, Hulogolik mengeluarkan semua ikan yang ada di tubuhnya ke
rerumputan. Setelah itu, kepala dan tubuhnya kembali menyatu. Ajaibnya,
ikan-ikan tersebut tiba-tiba menjelma menjadi gadis-gadis yang cantik
jelita. Rupanya, ikan-ikan tersebut merupakan penjelmaan gadis-gadis
yang sering hilang di sekitar Danau Walait. Akhirnya, Hulogolik membawa
pulang gadis-gadis itu ke kampungnya untuk dinikahinya dan juga
orang-orang sukunya yang memang banyak yang belum beristri.
Namun,
tanpa sepengetahuan Hulogolik, salah seorang anak buahnya memperhatikan
tingkah lakunya saat ia mencebur ke dalam Danau Walait. Keesokan
harinya, warga itu ingin melakukan seperti yang dilakukan oleh Hulogolik
dengan meminta bantuan kepada roh jahat.
“Baiklah,
aku akan membantumu, tapi dengan syarat kamu harus membujuk Hulogolik
untuk kembali memerangi suku Walait,” ujar roh jahat itu.
Warga
itu menyanggupi persyaratan itu. Alhasil, ia berhasil membujuk kepala
sukunya itu sehingga peperangan antara dua suku pun kembali berkobar.
Peperangan itu memakan banyak korban. Setelah perang tersebut selesai,
anak buah Hulogolik itu mendekati Danau Walait dan melakukan seperti
melakukan seperti yang dilakukan oleh tuannya.
Namun,
tanpa ia sadari pula, ternyata ada seorang warga lain yang mengintipnya
dari balik semak-semak. Begitu ia mencebur ke danau tanpa kepala, warga
yang mengintip itu mengambil kepalanya dan cepat-cepat pergi. Ketika
anak buah Hulogolik itu kembali darat, kepalanya sudah tidak ada. Pada
saat itulah, ia tiba-tiba menjelma menjadi seekor ular raksasa.
Sang Dewa yang mengetahui peristiwa itu menjadi murka kepada Hulogolik karena lalai mengawasi warganya.
“Hai,
Hulogolik! Kenapa kamu menyerang suku Walait tanpa melalui perintahku?
Karena kamu telah bertindak sewenang-wenang, maka sebagai hukuman
jasadmu kelak tidak akan membusuk sampai kapan pun,” ujar sang Dewa
dalam mimpi Hulogolik.
Alangkah
terkejutnya Hulogolik saat terbangun. Ia baru menyadari bahwa dirinya
telah termakan hasut oleh anak buahnya itu. Namun, apa boleh, buat nasi
sudah menjadi bubur. Hulogolik tinggal menunggu hukuman itu setelah ia
mati kelak.
Sementara
itu, isti Hulogolik telah berkumpul kembali dengan keluarganya. Saat
mereka berbincang-bincang, tiba-tiba ada orang yang menyinggung perihal
hilangnya seorang warga di Danau Walait. Ia juga mengakui bahwa
dirinyalah yang memisahkan kepala dan tubuh anak buah Hulogolik itu.
Mendengar
cerita itu, cepat-cepatlah Hulogolik berlari menuju ke Danau Walait.
Setiba di tepi danau, tiba-tiba seekor ular raksasa menyerangnya. Saking
cepatnya serangan ular itu sampai-sampai Hulogolik tidak sempat
menghindar. Akhirnya, kepala suku Akeima itu pun tewas. Tubuhnya pun
mengeras dan berwarna hitam. Karena tak seorang pun warga yang
menyaksikan peristiwa itu, jasad Hulogolik masih terapung-apung di
tengah danau itu hingga berhari-hari.
Warga
yang berada di perkampung pun mulai cemas karena kepala suku mereka
tidak pulang-pulang. Istri Hulogolik pun mengerahkan seluruh warga untuk
mencarinya ke Danau Walait. Melihat kedatangan orang-orang, ular naga
segera membuat lubang besar di dasar danau dan bersembunyi di dalamnya.
Ia takut keluar karena itu akan membahayakan dirinya.
Sementara itu, para warga yang baru tiba di tempat itu dikejutkan oleh sesosok tubuh sedang terapung-apung di tengah danau.
“Hai lihat, bukankah itu jasad Hulogolik?” teriak salah seorang warga.
“Iya, sepertinya benar,” sahut istri Hulogolik.
Beberapa
warga segera berenang ke tengah danau untuk mengambil jasad Hulogolik.
Tak berapa lama kemudian, para warga itu kembali ke darat dengan
membopong jasad kepala suku mereka. Mereka kemudian membawa pulang mayat
itu ke perkampungan untuk disemayamkan di sebuah honay (rumah adat orang Papua). Sungguh ajaib, mayat honay itu benar-benar tidak pernah membusuk.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar