Riau adalah salah satu propinsi di Indonesia yang kaya dengan
pelbagai jenis kesenian tradisional yang telah menjadi bagian hidup
masyarakat Riau. Pelbagai jenis kesenian tradisional tersebut adalah
seni tari, seni musik, seni ukir, seni tenun, seni lukis, seni bela
diri, dan teater rakyat. Di antara jenis kesenian tersebut, seni tari
(tarian) merupakan jenis kesenian Melayu Riau yang paling menonjol. Seni
tari atau tarian merupakan jenis seni gerak yang memiliki
gerakan-gerakan khusus. Setiap daerah dan suku-bangsa mempunyai
gerakan-gerakan tersendiri dalam memperagakan sebuah tarian.
Dibalik gerakan-gerakan tersebut terdapat cerita-cerita yang
menarik. Salah satu tari yang memiliki cerita menarik di Riau adalah
tari Olang-olang. Tarian ini sangat digemari oleh puak Melayu Sakai di
kabupaten Bengkalis, Riau. Mereka mempercayai bahwa tarian ini lahir
dari sebuah cerita legenda yang mengisahkan pertemuan seorang pemuda
dengan seorang gadis jelita dari kayangan yang sangat gemulai menari,
lalu keduanya bercinta kasih. Namun, jalinan kasih mereka putus, karena
si gadis melanggar pantangan yang telah mereka buat. Pantangan apa yang
dilanggar gadis itu? Bagaimana kisah pertemuan mereka hingga akhirnya
berpisah? Ikuti kisahnya dalam Legenda Putri Mambang Linau.
Alkisah, di tanah Bengkalis hiduplah seorang pemuda bernama Bujang
Enok. Ia hidup miskin dan sebatang kara, tak berayah, tak beribu, tak
juga bersaudara. Namun, ia adalah pemuda yang baik dan pemurah hati.
Pekerjaan sehari-harinya mencari kayu api di dalam hutan, yang kemudian
dijualnya ke pasar atau ditukarkannya dengan beras dan keperluan
hidupnya yang lain.
Suatu pagi, Bujang Enok sedang berjalan di tengah hutan, tiba-tiba
ia dihadang seekor ular berbisa. “Ssssss……Ssssss…..”, ular itu berdesis
menjulur-julurkan lidahnya ke arah Bujang Enok. Melihat ular itu, Bujang
Enok berusaha menghalaunya dengan baik, namun tidak juga mau pergi.
Lalu ia pun mendiamkannya. Ketika ia diamkan, ular itu justru hendak
mematuk Bujang Enok. Dengan terpaksa, Bujang Enok pun melecutnya dengan
semambu (tongkat rotan), pusaka peninggalan almarhum ayahnya. Sekali
lecut, ular berbisa itu pun menggeliat, lalu mati. Setelah melihat tak
bergerak lagi, Bujang Enok segera mengubur ular itu di pinggir jalan.
Setelah itu, ia pun mulai mengumpulkan kayu api. Ketika akan memulai
pekerjaannya, ia mendengar suara perempuan sedang bercakap-cakap. “Ular
berbisa itu telah mati”, kata sebuah suara perempuan dari arah lubuk di
hulu sungai. “Syukurlah, kita tidak akan diganggu ular itu lagi”, sahut
suara perempuan lainnya. Semakin lama, suara-suara tersebut semakin
jelas terdengar oleh Bujang Enok, namun ia tidak menghiraukan suara
tersebut, dan ia terus melanjutkan pekerjaannya mengumpulkan kayu api.
Pada saat tengah hari, seperti biasanya Bujang Enok pulang ke
pondoknya. Ketika dia masuk ke dapur pondoknya, Bujang Enok merasa
heran, karena di dapurnya telah tersedia nasi dan segala lauk pauk yang
lezat rasanya. Karena lapar yang tak tertahan, ia pun langsung melahap
semua hidangan yang tersaji itu. Sambil menikmati kelezatan makanan itu,
Bujang Enok menebak-nebak dalam hati, “Ibuku sudah meninggal dunia, aku
pun tak punya saudara, tetanggaku juga sangat jauh dari sini. Lalu,
siapa ya…..yang menghidangkan makanan ini?”. Pikiran-pikiran itu terus
berkecamuk dalam benaknya.
Karena penasaran, ia pun berniat untuk
mencari tahu orang yang menghidangkan makanan itu.
Keesokan harinya, Bujang Enok melaksanakan niatnya untuk mencari
tahu orang yang telah berani masuk ke dalam pondoknya. Hari itu ia
memutuskan tidak pergi ke hutan. Dari pagi hingga siang ditunggunya
orang yang masuk ke pondoknya. Bujang Enok menunggu di antara
semak-semak yang berada tak jauh dari pondoknya. Menjelang tengah hari,
tiba-tiba dari arah lubuk, datang tujuh gadis jelita. Mereka datang
beriring-iringan dan menjunjung hidangan, lalu masuk ke dalam pondok
Bujang Enok. Ketujuh gadis itu mengenakan selendang berwarna pelangi.
Namun dari ketujuh gadis itu, gadis yang berselendang warna jinggalah
yang paling cantik. “Waw, cantik sekali gadis yang berselendang jingga
itu?”, gumam Bujang Enok sambil mengawasi gadis itu hingga hilang dari
pandangannya.
Tak lama kemudian, ketujuh gadis itu keluar dari pondok Bujang
Enok, dan berjalan ke arah lubuk hulu sungai. Dengan langkah hati-hati,
Bujang Enok membuntuti ketujuh gadis jelita itu hingga ke pinggir lubuk
hulu sungai, lalu bersembunyi di rimbunan semak-semak. Di balik
semak-semak itu, Bujang Enok dapat melihat ketujuh gadis itu tengah
berganti pakaian yang akan mandi. Masing-masing gadis itu menyangkutkan
selendangnya pada sebuah ranting kayu. Mereka mandi sambil bersendau
gurau, hingga tak menyadari kehadiran Bujang Enok yang tak jauh dari
tempat mereka mandi. Suasana yang ramai itu, digunakan Bujang Enok untuk
mengambil selendang yang tergantung di ranting. Dari balik semak-semak,
Bujang Enok mengaitkan sebuah tongkat ke selendang yang berwarna
jingga. Kemudian ia menariknya dengan pelan-pelan, lalu meraih selendang
itu dan menyembunyikan di balik bajunya.
Setelah itu, ia pun kembali
bersembunyi di balik semak-semak.
Setelah selesai mandi, ketujuh gadis itu naik ke tepi lubuk lalu
berganti pakaian. Masing-masing mengambil dan mengenakan selendangnya
yang tergantung di ranting. Namun, di antara ketujuh gadis itu ada
seorang gadis yang kehilangan selendang. “Selendang saya di mana?, tanya
gadis itu sambil mencari-cari selendangnya yang hilang. Namun, tak
seorang pun temannya yang tahu keberadaan selendang itu. Lalu, gadis itu
meneruskan pencariannya, dibantu keenam gadis lainnya. Setelah beberapa
lama mereka mencari, tapi selendang jingga itu tak kunjung ditemukan.
Menjelang sore, keenam gadis yang telah mengenakan selendang, tiba-tiba
menari dan kemudian melayang-layang terbang ke angkasa meninggalkan
gadis yang kehilangan selendang itu seorang diri di tepian lubuk.
Sementara itu, Bujang Enok tercengang-cengang menyaksikan peristiwa itu
dari balik semak-semak. Bujang Enok terus memandangi keenam gadis itu
tanpa berkedip sedikit pun. Makin tinggi terbang ke angkasa, makin kecil
keenam gadis itu terlihat. Sampai akhirnya mereka menghilang dari
pandangan Bujang Enok.
Setelah itu, Bujang Enok keluar dari persembunyiannya dan
menghampiri gadis yang sedang mencari-cari selendangnya. “Apa yang kau
cari, wahai gadis cantik?” tanya Bujang Enok. “Tuan, apabila Tuan
mengetahui selendang berwarna jingga, hamba mohon kembalikanlah
selendang itu,” pinta Gadis itu sambil menyembah. Bujang Enok
menggeleng-gelengkan kepalanya, lalu berkata: “Saya bersedia
mengembalikan selendang jingga milik Tuan Putri, tetapi dengan syarat,
Tuan Putri bersedia menikah dengan saya,” kata Bujang Enok. “Ya, saya
berjanji bersedia menikah dengan Tuan, asalkan Tuan sanggup berjanji
pula, apabila saya terpaksa harus menari, berarti kita akan bercerai
kasih,” kata gadis jelita itu dengan tulus. “Baiklah, saya bersedia
mengingat janji itu. Nama saya Bujang Enok,” jelas Bujang Enok
memperkenalkan dirinya. “Nama saya Mambang Linau,” kata gadis jelita itu
membalasnya. Sejak saat itu, mereka menjalin cinta kasih dalam sebuah
bahtera rumah tangga. Bujang Enok dan Mambang Linau hidup bahagia, rukun
dan berkecukupan.
Sejak menikah dengan Mambang Linau, Bujang Enok semakin terkenal di
kampungnya dengan sifat pemurahnya. Kepemurahan hati Bujang Enok itu
terdengar oleh Raja yang berkuasa di negeri itu. Kemudian sang Raja pun
memanggil Bujang Enok menghadap kepadanya untuk diangkat menjadi Batin
(Kepala Kampung) di kampung Petalangan. Bujang Enok pun datang ke
istana. Setelah di hadapan Raja, “Ampun, Baginda! Ada apa gerangan
Baginda memanggil hamba?”, tanya Bujang Enok sambil memberi hormat.
“Wahai Bujang Enok, bersediakah kamu saya jadikan Batin di kampung
Petalangan?‘, sang Raja bertanya pula. “Ampun, Baginda! Jika itu
kehendak Baginda, dengan senang hati hamba bersedia menjadi Batin”,
jawab Bujang Enok pelan sambil memberi hormat. Kesediaan Bujang Enok
menjadia Batin membuat sang Raja senang. Beberapa hari kemudian, Bujang
Enok pun dilantik menjadi Batin di kampung Petalangan.
Sejak menjadi Batin, Bujang Enok pun menjadi salah seorang
kepercayaan sang Raja. Setiap mengadakan pesta, sang Raja selalu
mengundang Bujang Enok. Suatu hari, sang Raja mengadakan pesta di
istana. Dalam pesta itu wajib diisi dengan tari-tarian yang
dipersembahkan oleh dayang, istri pembesar istana, istri para penghulu
dan kepercayaan raja, termasuk istri Bujang Enok, Putri Mambang Linau.
Setelah acara dimulai, satu persatu para istri mempersembahkan tarian
mereka. Putri Mambang Linau yang sedang menyaksikan pertunjukan tarian
itu, mulai berdebar-debar. Dalam hatinya, “Jika aku ikut menari, berarti
aku akan bercerai dengan Suamiku”. Baru saja ia selasi bergumam,
tiba-tiba, “Kami persilakan Putri Mambang Linau,” titah Raja diiringi
tepuk tangan para hadirin.
Mendengar titah sang Raja, hatinya pun
semakin berdebar kencang. Bujang Enok yang duduk di sampingnya menoleh
ke arah istrinya, “Wahai adinda Mambang Linau, kakanda menjunjung tinggi
titah raja,” bisik Bujang Enok. Mambang Linau mengerti maksud bisikan
suaminya, lalu menjawab “Demi menjunjung titah raja dan rasa syukur atas
tuah negeri, saya bersedia menari,” jawab Mambang Linau seraya
mengenakan selendang berwarna jingga dan kemudian menuju ke atas pentas.
Sebelum memulai tariannya, Putri Mambang Linau terlebih dahulu
melakukan gerakan-gerakan persembahan untuk menjaga tata kesopanan dalam
istana dan menghormati sang Raja. Setelah itu, ia pun mulai menari
layaknya seekor burung elang. Ia melambaikan selendangnya seraya
mengepak-ngepakkannya. Perlahan-lahan kakinya diangkat seperti tak
berpijak di bumi. Tiba-tiba Mambang Linau meliukkan badannya, dan
seketika itu ia pun terbang melayang, membubung ke angkasa menuju
kayangan. Semua yang hadir terperangah menyaksikan peristiwa tersebut.
Sejak itu, Putri Mambang Linau tidak pernah kembali lagi. Sejak itu
pula, Batin Bujang Enok bercerai kasih dengan Putri Mambang Linau.
Betapa besar pengorbanan Bujang Enok. Ia rela bercerai dengan istrinya
demi menjunjung tinggi titah sang Raja. Menyadari hal itu, sang Raja pun
menganugerahi Bujang Enok sebuah kehormatan yaitu dilantik menjadi
Penghulu yang berkuasa di istana. Dari peristiwa ini pula lahir sebuah
pantun yang berbunyi:
Ambillah seulas si buah limau
Coba cicipi di ujung-ujung sekali
Sudahlah pergi si Mambang Linau
Hamba sendiri menjunjung duli
Setelah peristiwa itu, Raja Negeri bertitah bahwa untuk menghormati
pengorbanan Bujang Enok, maka setiap tahun diadakan acara tari
persembahan. Tarian ini mengisahkan Putri Mambang Linau sejak pertemuan
sampai perpisahannya dengan Bujang Enok. Karena gerakannya menyerupai
burung elang yang sedang melayang (elang babegar), maka tarian itu
dinamakan tarian elang-elang. Kini, masyarakat Riau lebih senang
menyebutnya tari olang-olang. Tarian olang-olang ini biasanya dimainkan
dengan diiringi oleh gendang (gubano) rebab, calempong dan gong. Tarian
ini dapat dijumpai di kecamatan Siak dan Merbau, kabupaten Bengkalis,
Riau, Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar