Kamis, 30 Juni 2016

Asal Usul Bukit Kancah


Cerita Rakyat Jambi Asal Usul Bukit Kancah


Di dalam sebuah hutan yang lebat di Negeri Tanjung, hidup tiga orang kakak beradik, Kakak Sulung dan Kakak Tengah adalah laki-laki dan Si Bungsu seorang perempuan. Semenjak orangtua mereka meninggal, mereka hanya tinggal bertiga di hutan dan tidak pernah berinteraksi dengan orang lain. Mereka bertiga terkenal sakti, karena setiap hari mereka berteman dengan berbagai jenis siluman.

Suatu saat, Negeri Tanjung mendapat ancaman penyerangan dari negeri tetangga. Sang Raja merasa gundah, karena negeri tetangga sangat kuat. Lalu, Raja bermaksud meminta pertolongan kedua laki-laki dari tiga bersaudara tersebut. la mengutus pengawalnya mencari Si Sulung dan Si Tengah untuk datang ke istana sebelum bulan purnama tiba.

Kakak Sulung dan Tengah mempertimbangkan permintaan Raja untuk membela Negeri Tanjung. Namun, mereka ragu meninggalkan adik bungsu mereka sendirian di hutan. Kakak Sulung dan tengah khawatir, adik mereka akan diganggu oleh makhluk lain atau binatang buas. Kemudian, mereka bertiga berunding mencari jalan terbaik untuk keselamatan adik mereka.

“Kak, begini saja. Selama kita pergi, adik bungsu kita tutup dengan sebuah kancah atau kuali yang besar. Lalu, kakak bacakan mantera, sehingga adik tidak akan dapat dilihat oleh makhluk apa pun,” kata Kakak Tengah.

“Idemu bogus, Dik. Baiklah, sebelum besok kita berangkat ke istana kita lakukan idemu itu,” kata Kakak Sulung.

Hari berganti dan kedua kakak beradik ini harus segera menuju ke istana. Ketiga bersaudara itu duduk berkeliling. Mereka berpegangan tangan dengan sedih, karena sebentar lagi akan berpisah dengan adik bungsu mereka. Selama ini mereka tidak pernah terpisahkan. Mereka berpelukan sambil menangis.
Tibalah saatnya, Kakak Tengah mengambil sebuah kancah dan menutupkannya dengan tubuh Si Bungsu di dalam kancah tersebut. Lalu, Kakak Sulung membacakan mantera di hadapan kancah yang berisi adik mereka. Setelah selesai membacakan mantera, kancah tersebut menghilang dari pandangan.
“Nah, adikku sayang, sekarang kau aman, karena tiada seorang pun yang dapat melihatmu. Kakak berdua akan segera kembali padamu,” kata Kakak Sulung.

Dengan perasaan sedih, Kakak Sulung dan Kakak Tengah meninggalkan si bungsu. Mereka menuju istana dan siap untuk membantu kerajaan menghadapi musuh.

Kakak beradik ini ditunjuk sebagai panglima perang oleh Raja. Dengan kehebatan mereka dan juga bantuan dari para siluman hutan, mereka berhasil memenangkan pertempuran.

Setelah memenangi pertempuran ini, Raja mengangkat keduanya menjadi hulubalang istana. Hal ini membuat iri beberapa hulubalang lainnya. Kemudian, para hulubalang berusaha menjatuhkan kakak beradik itu dengan bekerja sama dengan musuh untuk menghancurkan Negeri Tanjung.

Raja Negeri Tanjung meminta mereka untuk menghadapi serangan para hulubalang yang sudah berkhianat. Kakak beradik yang sakti itu merasa ragu, karena mereka akan berhadapan dengan kawan-kawan mereka sendiri.

Raja membujuk mereka untuk segera bertindak. Dalam pertempuran ini, Kakak Sulung gugur, karena ia tidak bisa menggunakan kemampuan manteranya dalam keadaan masih penuh keraguan untuk berperang melawan kawan-kawannya sendiri.

Kakak Tengah sangat terpukul dengan kematian kakak sulung, ia lalu berusaha sekuat tenaga memenangi pertempuran tersebut hingga akhirnya Negeri Tanjung pun berhasil mengalahkan musuh.
Sebagai rasa terima kasih, Raja Negeri Tanjung lalu menikahkan putrinya yang cantik dengan Kakak Tengah. Ia berharap Kakak Tengah dapat menjadi penggantinya kelak memimpin Negeri Tanjung.
Usai pesta pernikahan, Kakak Tengah minta izin kepada Raja untuk pulang ke kampung halamannya. Ia bermaksud mencari adiknya.

Pertemuan dengan adiknya sungguh mengharukan. Kakak Tengah menangis sambil memeluk kancah besar yang dipakai untuk menutupi adiknya. Kini, adiknya tidak dapat terlihat lagi, karena hanya Kakak Sulung yang bisa membacakan manteranya. Ia hanya dapat mendengar suara adiknya tanpa bisa melihat wujudnya lagi. Si Tengah menangis sambil memeluk kancah tersebut. Kepada adiknya ia menceritakan bahwa kakak mereka telah tiada. Si Bungsu menangis tersedu-sedu. Mereka saling melepas rindu dengan bercakap-cakap.

Setelah puas bercakap-cakap, Kakak Tengah minta izin kepada adiknya untuk kembali ke istana.
“Tunggulah, adikku. Kakak pasti akan mencari cara untuk membebaskanmu sehingga kau dapat terlihat kembali,” janji Kakak Tengah. Adik Bungsu kembali menangis tersedu-sedu.
Si Tengah kembali ke kerajaan.

Ia terus berpikir bagaimana cara menyelamatkan adiknya. Namun, sampai bertahun-tahun ia belum menemukan caranya.

Sementara itu di hutan, kancah yang menutupi Si Bungsu semakin lama semakin membesar. Di bagian atasnya ditumbuhi pepohonan sehingga kancah itu berubah menjadi sebuah bukit. Bukit itu dinamakan Bukit Kancah.

Rabu, 29 Juni 2016

Legenda Sangkuriang


https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgwU6Bga7ez-V9NES6Duu6y4PZub3NWFHv4cncDF_54oPHqU1IlvTtLeEyf8mO7_T_xGHb2hfUqpGtsz9DwB_rRCuInEMPQSLLbT5Y-T7ALSs9JkwP8Es9kGhRKZHCs2BmNNzQZQK4z_xI/s1600/Sangkuriang_1.jpg

Asal muasal gunung Tangkuban perahu dan Sangkuriang adalah cerita rakyat dari nenek moyang, yang turun temurun hingga sekarang dan menjadi cerita rakyat yang cukup menarik. Cerita rakyat Sangkuriang dan gunung Tangkuban perahu berawal dari seorang raja bernama Sungging Perbangkara yang tengah pergi berburu ke di hutan. Ketika tengah berburu, Raja Sungging Perbangkara merasa ingin buang air kecil.

Sang rajapun pergi kesemak-semak dan buang air kecil, dimana air seninya tertampung di selembar daun keladi. Alkisah, saat itu ada seekor babi betina yang tengah bertapa karena ingin menjadi manusia, ia bernama Wayung. Tanpa sengaja air seni raja Sungging Perbangkara diminum oleh Wayung yang pada akhirnya menyebabkan babi betina itu hamil karenanya. Hingga suatu ketika tiba saatnya Wayung melahirkan. Lahir seorang anak wanita yang cantik yang kelak bernama Dayang Sumbi atau Rarasati.

Cerita Rakyat Sangkuriang berawal dari Dayang Sumbi yang kian beranjak dewasa, kecantikan Dayang Sumbi semakin terlihat dan mulai menjadi rebutan di antara para raja kala itu. Karena Dayang Sumbi selalu menjadi rebutan, ia menjadi terganggu dan akhirnya memutuskan untuk pergi ke hutan bersama seekor anjing peliharaannya yang bernama Tumang. Suatu ketika, diceritakan Dayang Sumbi tengah menjahit dan tanpa sengaja gulungan benang yang ia gunakan tiba-tiba terjatuh. Dayang Sumbi pun merasa malas mengambilnya, dan entah kenapa ia berucap bagi siapa yang dapat mengambilkan gulungan benang, jika ia laki-laki, maka ia akan dijadikan suaminya. Ternyata si Tumang, anjing peliharaannyalah yang akhirnya mengambilkan gulungan benang itu yang akhirnya menjadi suami Dayang Sumbi.

Dayang Sumbi menepati janjinya dan bersuamikan seekor anjing. Kemudian lahirlah Sangkuriang, anak Dayang Sumbi dan Tumang. Hari berganti hari Sangkuriang mulai tumbuh jadi anak lelaki yang pemberani. Setiap hari ia berburu binatang di hutan dan Sangkuriang selalu mengajak Tumang, anjing yang juga bapaknya itu. Ketika itu, Sangkuriang ingin berburu babi, dan kebetulan yang diburu adalah babi betina Wayung, yang tak lain ibunda Dayang Sumbi. Tumang pun menolak untuk mengejar babi itu, sehingga Sangkuriang menjadi marah. Dalam kemarahannya Sangkuriang langsung membunuh Tumang, anjing yang juga ayahnya sendiri. Hati si Tumang ia ambil dan ia serahkan pada ibunya untuk dimasak.

Dalam hati, Dayang Sumbi merasa aneh karena seharian tidak melihat Tumang yang tidak kunjung pulang. Ia bertanya kepada Sangkuriang dimana si Tumang, dan betapa kagetnya Dayang Sumbi ketika mendengar jawaban Sangkuriang, bahwa ia telah membunuh Tumang. Dayang Sumbi menjadi sangat marah dan dalam kemarahannya kepala Sangkuriang dipukul menggunakan centong nasi, hingga meninggalkan bekas luka di kepala Sangkuriang. Sangkuriang merasa kecewa dengan perlakuan ibunya hingga akhirnya ia memutuskan untuk pergi meninggalkan rumah. Sangkuriang bersikukuh untuk pergi jauh dan tidak akan pernah kembali.

Waktu terus berjalan, hingga Sangkuriang kini tumbuh menjadi lelaki yang gagah dan tampan. Dalam kesendiriannya, Dayang Sumbi sangat mengharapkan Sangkuriang akan pulang kembali. Iapun mulai bertapa dan memohon kepada Dewa, ia ingin tetap cantik dan selalu muda hingga nanti. Suatu ketika saat Sangkuriang kembali ia masih mengenali Dayang Sumbi sebagai ibunya. Dewapun mengabulkan do'a Dayang Sumbi, walaupun usianya sudah tidak muda lagi, Dayang Sumbi masih terlihat cantik.

Hingga suatu ketika, Sangkuriang bertemu dengan Dayang Sumbi, namun ia sudah tidak mengenali Dayang Sumbi sebagai ibunya, bahkan jatuh hati kepada Dayang Sumbi. Begitupun Dayang Sumbi, ia tak tahu bahwa lelaki tampan itu adalah Sangkuriang, mereka menjalin kasih. Ceritapun berlanjut, suatu hari Dayang Sumbi tengah membelai kepala Sangkuriang, dari situlah ia menemukan bekas luka karena pukulan yang dilakukan pada Sangkuriang beberapa tahun yang lalu. Akhirnya Dayang Sumbi pun tahu bahwa ia adalah Sangkuriang anak kandungnya.

Sangkuriang telah melamar Dayang Sumbi, hingga Dayang Sumbi bingung mencari cara agar pernikahan dengan Sangkuriang tak akan terjadi. Akhirnya, Dayang Sumbi mengajukan beberapa persyaratan yakni Sangkuriang harus mampu membuat danau dan perahu serta membendung sungai Citarum dalam waktu satu malam. Sangkuriang menyanggupi persyaratan ini, karena ia telah berguru dan menjadi remaja yang sakti mandraguna. Alhasil, Sangkuriang ternyata mampu memenuhi persyaratan yang diberikan Dayang Sumbi kepadanya.

Saat semua pekerjaan hampir selesai, Dayang Sumbi bingung dan meminta petunjuk Dewa. Sang Dewa-pun memerintahkan agar Dayang Sumbi mengibaskan selendang yang dimilikinya dan secara ghaib matahari muncul di ufuk timur tanda pagi telah datang. Sangkuriang marah dan ia merasa gagal. Ia menendang perahu yang setengah jadi dengan sekuat tenaga dan terguling dalam keadaan tertelungkup hingga akhirnya muncul sebutan Tangkuban Parahu.

Selasa, 28 Juni 2016

Legenda Putri Gading Cempaka


https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgEtTWJzgWCAu85kS2hO98zmuYKt1a6NE67tt5PE08ne6sWWSp1fppQzb-NuPjsoX_FyzfOqF6PoqQUodQ2j1c-vXSZorZvzi-WP1dBTbH8Ou2OJriibodXUKkARAFItL60Y1X0v34ONPU/s1600/putriGading.jpg 

Dahulu, di daerah Bengkulu Tinggi yang sekarang termasuk ke dalam wilayah Provinsi Bengkulu, pernah berdiri sebuah kerajaan yang bernama Kerajaan Sungai Serut. Pendiri sekaligus raja pertama kerajaan ini bernama Ratu Agung, yaitu seorang pangeran yang berasal dari Kerajaan Majapahit di Jawa. Konon, ia merupakan penjelmaan dewa dari Gunung Bungkuk yang bertugas mengatur kehidupan di bumi. Ratu Agung memerintah negeri itu dengan arif dan bijaksana. Walaupun rakyat yang diperintahnya adalah bangsa Rejang Sawah yang memiliki perawakan tinggi, tegap, dan besar, ia tetap sebagai raja yang disegani oleh seluruh rakyatnya.

Ratu Agung mempunyai enam orang putra dan seorang putri. Keenam putra tersebut adalah

  1. Kelamba Api atau Raden Cili
  2. Manuk Mincur
  3. Lemang Batu
  4. Tajuk Rompong
  5. Rindang Papan
  6. Anak Dalam
  7. dan yang paling bungsu adalah seorang putri bernama Putri Gading Cempaka
Menurut cerita, kerajaan ini menjadi terkenal hingga ke berbagai negeri bukan saja karena kepemimpinan Ratu Agung, tetapi juga oleh kecantikan Putri Gading Cempaka. Meskipun usianya baru beranjak remaja, keelokan paras sang Putri sudah terlihat sangat jelas, anggun dan mempesona bagai bidadari. Sudah banyak pangeran yang datang meminangnya, namun semuanya ditolak oleh Ratu Agung karena sang Putri masih belum cukup umur.

Seiring berjalannya waktu, Putri Gading Cempaka pun tumbuh menjadi gadis dewasa. Demikian pula Ratu Agung yang kian menua usianya. Suatu hari, penguasa Kerajaan Sungai Serut itu sakit keras. Ia mendapat firasat bahwa ajalnya tidak lama lagi tiba. Maka, sang Raja pun mengumpulkan ketujuh putra-putrinya untuk menyampaikan wasiat kepada mereka.

“Wahai, anak-anakku. Ayahanda takkan lama lagi hidup di dunia ini. Maka sebelum itu, Ayahanda akan menitipkan dua wasiat kepada kalian,” kata sang Ayah dengan suara lirih.

Mendengar perkataan itu, wajah ketujuh anak raja itu mendadak lesu, terutama Putri Gading Cempaka. Ia tak bisa menahan perasaan sedihnya mendengar ucapan sang Ayah. Perlahan-lahan air matanya pun berderai membasahi pipinya yang kemerah-merahan.

“Ayah jangan berkata begitu. Kami tidak ingin kehilangan Ayah,” isak Putri Gading Cempaka seraya merangkul ayahandanya.

“Sudahlah, Putriku. Semua ini sudah menjadi kehendak Tuhan Yang Maha Kuasa. Ajal kita semua ada di tangan-Nya. Kita tidak kuasa menahan jika ajal itu datang,” ujar Raja Ratu Agung menengkan hati putrinya. Raja yang arif dan bijaksana itu kemudian menyampaikan wasiatnya.

“Demi menjunjung tinggi rasa keadilan, kedamaian, dan ketenteraman di negeri ini, Aku mewasiatkan tahta Kerajaan Sungai Serut ini kepada putraku Anak Dalam. Aku berharap agar kalian semua tetap bersatu baik dalam suka maupun duka,“ ujar Ratu Agung kepada putra-putrinya seraya melanjutkan wasiatnya yang kedua, “Sekiranya negeri Sungai Serut ditimpa musibah besar dan tidak bisa lagi dipertahankan, menyingkirlah kalian ke Gunung Bungkuk. Kelak di sana akan datang seorang raja yang berjodoh dengan anak gadisku tercinta, Putri Gading Cempaka.”

Wasiat tentang tahta Kerajaan Sungai Serut itu pun diterima oleh Anak Dalam tanpa ada ada rasa iri hati dari kelima saudara tuanya. Bahkan, mereka sangat mendukung dipilihnya Anak Dalam sebagai pewaris tahta. Selang beberapa hari kemudian, Raja Ratu Agung pun menghembuskan nafas terakhirnya. Seluruh negeri pun berduka-cita. Putri Gading Cempaka seolah tidak rela melepas kepergian ayahanda yang amat dicintainya itu. Namun, sang Putri pun hanya bisa pasrah dan berdoa agar ayahandanya mendapat ketenangan di alam kubur.

Anak Dalam kemudian dinobatkan menjadi raja menggantikan ayahnya. Namun, nama kerajaan itu kini bernama Kerajaan Bangkahulu. Seperti ayahnya, Raja Anak Dalam adalah pemimpin yang arif sehingga ia dan keenam saudaranya senantiasa hidup rukun dan damai. Dalam waktu singkat, kemasyhurannya pun tersebar ke berbagai negeri. Selain itu, kecantikan Putri Gading Campaka semakin membuat negeri kian dikenal. Sudah banyak bangsawan maupun pangeran yang datang meminangnya, namun belum satu pun pinangan yang diterima.

Suatu hari, datanglah seorang putra mahkota dari Kerajaan Aceh bernama Pangeran Raja Muda Aceh hendak meminang sang Putri. Pangeran itu datang bersama segenap hulubalangnya dengan menggunakan kapal layar. Setiba di pelabuhan Bangkahulu, sang Pangeran mengutus beberapa penasehatnya ke istana untuk menyampaikan pinangannya kepada Raja Anak Dalam.

“Ampun, Baginda. Hamba adalah utusan Pangeran Raja Muda Aceh dari Kerajaan Aceh. Saat ini beliau menunggu di atas kapal yang sedang bersandar di dermaga,” kata salah seorang utusan seraya memberi hormat.
“Apa yang bisa saya bantu untuk Pangeran kalian?” tanya Raja Anak Dalam.
“Sebenarnya kedatangan hamba ke mari untuk menyampaikan pinangan tuan kami kepada Putri Gading Cempaka,” jawab utusan itu.

Raja Anak dalam tidak mau mengambil keputusan sendiri. Ia mengajak semua saudaranya untuk membicarakan masalah tersebut. Sementara itu, para utusan diminta untuk menunggu sejenak. Tak berapa lama kemudian, mereka pun kembali menemui para utusan untuk menyampaikan hasil mufakat yang telah mereka putuskan.

“Maafkan kami, wahai utusan. Pinangan Tuan kalian belum dapat kami kabulkan,” kata Raja Anak Dalam.
Serentak para utusan itu terkejut. Dengan perasaan kecewa, mereka segera kembali ke dermaga untuk melapor kepada Raja Muda Aceh. Betapa murkanya Pangeran dari Tanah Rencong itu saat mendengar laporan tersebut.

“Apa?! Mereka menolak pinanganku?!” kata Raja Muda Aceh geram.

Merasa dikecewakan, Raja Muda Aceh menjadi marah dan menantang Raja Anak Dalam untuk berperang. Perang besar tak terhindarkan dan berlangsung hingga berhari-hari dengan banyak korban jiwa yang berjatuhan. Perang terus berkecamuk. Mayat-mayat yang sudah berhari-hari bergelimpangan tanpa terurus mulai membusuk. Raja Anak Dalam dan seluruh pasukannya tidak tahan lagi menahan bau busuk tersebut. Saat itulah, sang Raja teringat pada wasiat ayahandanya.

“Wahai saudara-saudaraku! Sesuai dengan pesan ayahanda bahwa jika negeri ini sudah tidak aman lagi, kita disarankan untuk menyingkir ke Gunung Bungkuk,” kata Raja Anak Dalam.

Akhirnya, Raja Anak Dalam serta keenam saudaranya segera menarik diri menuju Gunung Bungkuk. Sementara itu, Pangeran Raja Muda Aceh bersama pasukannya yang masih hidup kembali ke Tanah Rencong tanpa membawa hasil.

Sepeninggal para pemimpinnya, Kerajaan Bangkahulu menjadi kacau. Mendengar kabar tersebut, datanglah empat pasirah (bangsawan) Lebong Balik Bukit untuk menjadi raja di sana. Namun, setelah berhasil menguasai negeri tersebut, mereka malah saling bertikai karena memperebutkan wilayah kekuasaan.

Menurut cerita, pertikaian keempat pasirah tersebut didamaikan oleh Maharaja Sakti. Ia adalah utusan Kerajaan Pagaruyung, kerajaan di Minangkabau yang diperintah oleh Seri Maharaja Diraja, untuk berkelana. Akhirnya, keempat pasirah tersebut segera menghadap Sultan Pagaruyung untuk memohon agar Maharaja Sakti yang adil dan bijaksana itu diangkat menjadi raja di Bangkahulu. Permohonan mereka dikambulkan. Upacara penobatan Maharaja Sakti pun dilaksanakan di balairung Kerajaan Pagaruyung.

Setelah itu, Baginda Maharaja Sakti berangkat menuju ke Bangkahulu dengan diiringi oleh ratusan pengawal dan juga oleh keempat pasirah. Setiba di sana, upacara penobatan sebagai raja di negeri itu pun telah disiapkan. Namun, ketika upacara itu akan dimulai, tiba-tiba langit menjadi gelap, lalu turunlah hujan yang sangat deras disertai angin kencang. Atas kesepakatan bersama, upacara itu akhirnya ditunda sambil menunggu cuaca kembali cerah. Namun, hingga malam hari, hujan dan badai tak kunjung berhenti.
Malam itu, Baginda Maharaja Sakti bermimpi melihat seorang bidadari sedang menari-nari di tengah hujan badai. Ajaibnya, tak sedikit pun tubuh bidadari itu basah terkena air hujan. Bidadari itu kemudian menuju ke Gunung Bungkuk. Keesokan harinya, Baginda Maharaja Sakti menceritakan perihal mimpinya kepada keempat pasirah yang kemudian meminta seorang peramal untuk menafsirkan mimpi tersebut.

“Ampun, Baginda. Ternyata, bidadari cantik yang ada di dalam mimpi Baginda adalah Putri Gading Cempaka, putri penguasa wilayah ini di masa lalu. Kini, ia tinggal di Gunung Bungkuk bersama keenam saudaranya. Jika Baginda bisa membawanya ke sini, Baginda akan mendirikan negeri ini tegak kembali dengan selamat. Menurut ramalan hamba, Putri Gading Cempaka kelak akan menurunkan raja-raja di negeri ini,” ungkap peramal itu.

Mendengar keterangan tersebut, sang Baginda pun berhasrat meminang sang Putri. Ia lalu mengutus keempat pasirah dan beberapa pengawalnya untuk menjemput Putri Gading Cempaka di Gunung Bungkuk. Setiba di sana, mereka menghadap Raja Anak Dalam dan semua saudaranya.

“Ampun, Baginda! Kami adalah utusan dari Tuanku Baginda Maharaja Sakti. Atas titah beliau, hamba diminta untuk menjemput Tuanku Putri Gading Cempaka beserta tuan-tuan sekalian. Baginda Maharaja Sakti bermaksud mengangkat Tuanku Putri Gading Cempaka menjadi permaisuri di Negeri Bangkahulu,” ungkap para utusan itu.

Raja Anak Dalam bersama saudara-saudaranya pun menerima pinangan Maharaja Sakti sesuai dengan wasiat ayah mereka. Akhirnya, pesta pernikahan Putri Gading Cempaka dengan Maharaja Sakti pun dilangsungkan di Bangkahulu. Pesta berlangsung meriah karena bersamaan dengan upacara penobatan Maharaja Sakti menjadi raja di Negeri Bangkahulu.

Setelah menikah, dibangunlah istana baru yang megah sebagai pusat pemerintahan. Oleh karena letak istana itu berada di Kuala Sungai Lemau, maka kerajaan itu pun berganti nama menjadi Kerajaan Sungai Lemau. Baginda Maharaja Sakti memimpin kerajaan itu dengan arif dan bijaksana. Ia dan permaisurinya pun hidup bahagia. Begitulah kisah Putri Gading Cempaka yang telah menurunkan raja-raja Kerajaan Sungai Lemau.

Jumat, 24 Juni 2016

Legenda Gunung Tangkuban Perahu

Beribu-ribu tahun yang lalu, tanah Parahyangan dipimpin oleh seorang raja dan seorang ratu yang hanya mempunyai seorang putri. Putri itu bernama Dayang Sumbi. Dia sangat cantik dan cerdas, sayangnya dia sangat manja. Pada suatu hari saat sedang menenun di beranda istana, Dayang Sumbi merasa lemas dan pusing.

Dia menjatuhkan pintalan benangnya ke lantai berkali-kali. Saat pintalannya jatuh untuk kesekian kalinya Dayang Sumbi menjadi marah lalu bersumpah, dia akan menikahi siapapun yang mau mengambilkan pintalannya itu. Tepat setelah kata-kata sumpah itu diucapkan, datang seekor anjing sakti yang bernama Tumang dan menyerahkan pintalan itu ke tangan Dayang Sumbi. Maka mau tak mau, sesuai dengan sumpahnya, Dayang Sumbi harus menikahi Anjing tersebut.

Dayang Sumbi dan Tumang hidup berbahagia hingga mereka dikaruniai seorang anak yang berupa anak manusia tapi memiliki kekuatan sakti seperti ayahnya. Anak ini diberi nama Sangkuriang. Dalam masa pertumbuhannya, Sangkuring se lalu ditemani bermain oleh seekor anjing yang bernama Tumang yang dia ketahui hanya sebagai anjing yang setia, bukan sebagai ayahnya. Sangkuriang tumbuh menjadi seorang pemuda yang tampan dan gagah perkasa.

Pada suatu hari Dayang Sumbi menyuruh anaknya pergi bersama anjingnya untuk berburu rusa untuk keperluan suatu pesta. Setelah beberapa lama mencari tanpa hasil, Sangkuriang merasa putus asa, tapi dia tidak ingin mengecewakan ibunya. Maka dengan sangat terpaksa dia mengambil sebatang panah dan mengarahkannya pada Tumang. Setibanya di rumah dia menyerahkan daging Tumang pada ibunya. dayanng Sumbi yang mengira daging itu adalah daging rusa, merasa gembira atas keberhasilan anaknya. Segera setelah pesta usai Dayang Sumbi teringat pada Tumang dan bertanya pada pada anaknya dimana Tumang berada.


Gunung Tangkuban Perahu
Pada mulanya Sangkuriang merasa takut, tapa akhirnya dia mengatakan apa yang telah terjadi pada ibunya. Dayang Sumbi menjadi sangat murka, dalam kemarahannya dia memukul Sangkuriang hingga pingsan tepat di keningnya. Atas perbuatannya itu Dayang Sumbi diusir keluar dari kerajaan oleh ayahnya. Untungnya Sangkuriang sadar kembali tapi pukulan ibunya meninggalkan bekas luka yang sangat lebar di keningnya.Setelah dewasa, Sangkuriang pun pergi mengembara untuk mengetahui keadaan dunia luar.

Beberapa tahun kemudian, Sangkuriang bertemu dengan seorang wanita yang sangat cantik. Segera saja dia jatuh cinta pada wanita tersebut. Wanita itu adalah ibunya sendiri, tapi mereka tidak saling mengenali satu sama lainnya. Sangkuriang melamarnya, Dayang Sumbi pun menerima dengan senang hati. Sehari sebelum hari pernikahan, saat sedang mengelus rambut tunangannya, Dayang Sumbi melihat bekas luka yang lebar di dahi Sangkuriang, akhirnya dia menyadari bahwa dia hampir menikahi putranya sendiri.

Mengetahui hal tersebut Dayang Sumbi berusaha menggagalkan pernikahannya. Setelah berpikir keras dia akhirnya memutuskan untuk mengajukan syarat perkawinan yang tak mungkin dikabulkan oleh Sangkuriang. Syaratnya adalah: Sangkuriang harus membuat sebuah bendungan yang bisa menutupi seluruh bukit lalu membuat sebuah perahu untuk menyusuri bendungan tersebut. Semua itu harus sudah selesai sebelum fajar menyingsing.

Sangkuriang mulai bekerja. Cintanya yang begitu besar pada Sangkuriang memberinya suatu kekuatan aneh. Tak lupa dia juga menggunakan kekuatan yang dia dapat dari ayahnya untuk memanggil jin-jin dan membantunya. Dengan lumpur dan tanah mereka membendung air dari sungai dan mata air. Beberapa saat sebelum fajar, Sangkuriang menebang sebatang pohon besar untuk membuat sebuah perahu. Ketika Dayang Sumbi melihat bahwa Sangkuriang hampir menyelesaikan pekerjaannya, dia berdoa pada dewa-dewa untuk merintangi pekerjaan anaknya dan mempercepat datangnya pagi.

Ayam jantan berkokok, matahari terbit lebih cepat dari biasanya dan Sangkuriang menyadari bahwa dia telah ditipu. Dengan sangat marah dia mengutuk Dayang Sumbi dan menendang perahu buatannya yang hampir jadi ke tengah hutan. Perahu itu berada disana dalam keadaan terbalik, dan membentuk Gunung Tangkuban Perahu(perahu yang menelungkub).

Tidak jauh dari tempat itu terdapat tunggul pohon sisa dari tebangan Sangkuriang, sekarang kita mengenalnya sebagai Bukit Tunggul. Bendungan yang dibuat Sangkuriang menyebabkan seluruh bukit dipenuhi air dan membentuk sebuah danau dimana Sangkuriang dan Dayang Sumbi menenggelamkan diri dan tidak terdengar lagi kabarnya hingga kini.

Kamis, 23 Juni 2016

Legenda Batu Golog

Pada jaman dahulu di daerah Padamara dekat Sungai Sawing di Nusa Tenggara Barat hiduplah sebuah keluarga miskin. Sang istri bernama Inaq Lembain dan sang suami bernama Amaq Lembain.


Cerita Legenda Batu Golog
Mata pencaharian mereka adalah buruh tani. Setiap hari mereka berjalan kedesa desa menawarkan tenaganya untuk menumbuk padi.

Kalau Inaq Lembain menumbuk padi maka kedua anaknya menyertai pula. Pada suatu hari, ia sedang asyik menumbuk padi. Kedua anaknya ditaruhnya diatas sebuah batu ceper didekat tempat ia bekerja.

Anehnya, ketika Inaq mulai menumbuk, batu tempat mereka duduk makin lama makin menaik. Merasa seperti diangkat, maka anaknya yang sulung mulai memanggil ibunya: “Ibu batu ini makin tinggi.” Namun sayangnya Inaq Lembain sedang sibuk bekerja. Dijawabnya, “Anakku tunggulah sebentar, Ibu baru saja menumbuk.”

Begitulah yang terjadi secara berulang-ulang. Batu ceper itu makin lama makin meninggi hingga melebihi pohon kelapa. Kedua anak itu kemudian berteriak sejadi-jadinya. Namun, Inaq Lembain tetap sibuk menumbuk dan menampi beras. Suara anak-anak itu makin lama makin sayup. Akhirnya suara itu sudah tidak terdengar lagi.

Batu Goloq itu makin lama makin tinggi. Hingga membawa kedua anak itu mencapai awan. Mereka menangis sejadi-jadinya. Baru saat itu Inaq Lembain tersadar, bahwa kedua anaknya sudah tidak ada. Mereka dibawa naik oleh Batu Goloq.

Inaq Lembain menangis tersedu-sedu. Ia kemudian berdoa agar dapat mengambil anaknya. Syahdan doa itu terjawab. Ia diberi kekuatan gaib. dengan sabuknya ia akan dapat memenggal Batu Goloq itu. Ajaib, dengan menebaskan sabuknya batu itu terpenggal menjadi tiga bagian. Bagian pertama jatuh di suatu tempat yang kemudian diberi nama Desa Gembong olrh karena menyebabkan tanah di sana bergetar.

Bagian ke dua jatuh di tempat yang diberi nama Dasan Batu oleh karena ada orang yang menyaksikan jatuhnya penggalan batu ini. Dan potongan terakhir jatuh di suatu tempat yang menimbulkan suara gemuruh. Sehingga tempat itu diberi nama Montong Teker.

Sedangkan kedua anak itu tidak jatuh ke bumi. Mereka telah berubah menjadi dua ekor burung. Anak sulung berubah menjadi burung Kekuwo dan adiknya berubah menjadi burung Kelik. Oleh karena keduanya berasal dari manusia maka kedua burung itu tidak mampu mengerami telurnya.

LEGENDA BATU RANTAI

LEGENDA BATU RANTAI

Dalam sebuah kisah beberapa abad lalu, negeri Temasik diperintah oleh Paduka Seri Maharaja, seorang Raja yang terkenal sangat kejam dan angkuh. Suatu ketika, Raja itu tega menghukum mati seorang ulama yang juga sebagai pedagang dari Pasai bernama Tun Jana Khatib. Sebenarnya, ulama itu tidak bersalah, ia secara tidak sengaja berpandangan mata dengan permasuri Raja. Namun, sang Raja yang melihat kejadian itu menjadi murka. Tak ada yang bisa mencegahnya untuk menjatuhkan hukuman itu. Sang Raja pun segera memerintahkan pengawal istana untuk menangkap dan menghukum mati sang Ulama.

Namun, sebelum hukuman mati itu dilaksanakan, sang Ulama berpesan kepada penduduk Temasik. "Wahai kalian penduduk Temasik! Ketahuilah! Aku rela dengan kematian ini! Tetapi raja yang zalim itu tak akan lepas begitu saja. Dia akan membayar harga atas kezaliman itu...Dan percayalah di negeri ini akan terjadi huru-hara! Negeri ini akan ditimpa malapetaka yang sangat dahsyat....!!!". Selesai menyampaikan pesan, sang Ulama pun dihukum mati. Dadanya ditusuk sebila keris oleh pengawal istana hingga tersungkur tak berdaya. Sesaat setelah sang Ulama dihukum, terjadilah sebuah peristiwa gaib. Pada saat jenazah sang Ulama dibawa ke pemakaman, tiba-tiba mayatnya menghilang. Beberapa saat kemudian, tiba-tiba petir menyambar dan menggemparkan negeri Temasik, lalu disusul dentuman suara keras. Penduduk Temasik kemudian berlari menyelamatkan diri dan pergi ke tempat di mana sang Ulama dihukum. Suasana Temasik semakin gempar setelah penduduk menemukan bekas darah sang Ulama di tempat kejadian itu berubah menjadi batu.

Peristiwa gaib di atas adalah pertanda akan datangnya malapetaka dahsyat di negeri Temasik. Pada suatu hari, tiba-tiba Temasik diserang beribu-ribu ikan Todak. Gerombolan ikan yang berparuh panjang, runcing, dan tajam itu menyerang penduduk sampai ke pelosok desa di sekitar pantai. Penduduk berlarian menghindari serangan ikan itu. Namun, musibah tak terelakkan lagi, banyak penduduk bergelimpangan secara mengerikan. Tak lama kemudian, kabar peristiwa ini pun sampai di telinga sang Raja. Dengan cepat, sang Raja pun segera memerintahkan pengawal istana menyediakan seekor gajah tunggangan untuk pergi ke tempat kejadian. Sesampainya di pantai, sang Raja menyaksikan mayat-mayat bergelimpangan. Sang Raja kemudian memerintahkan pengawal istana dan penduduk agar membuat pagar betis. Namun upaya itu justru membuat ikan Todak tersebut kian mengganas. Hari demi hari, penduduk yang mati dan luka-luka diserang ikan Todak tersebut semakin bertambah. Penduduk yang terluka itu, merintih dan mengerang kesakitan siang dan malam.

Meskipun banyak penduduk yang menjadi korban keganasan ikan Todak tersebut, namun tak seorang pun yang berani meninggalkan negeri itu tanpa titah sang Raja. Penduduk tetap berdiri mematuhi titah raja untuk membuat pagar betis. Rintihan penduduk yang menahan sakit tidak dihiraukan sang Raja yang sangat kejam itu. Sang Raja justru diam-diam bermaksud meninggalkan negeri Temasik untuk bersembunyi. Pada saat sang Raja sedang berlari bersembunyi, ia diserang oleh seekor ikan Todak. Ia berusaha menghindar, namun baju sang Raja tersambar paruh ikan Todak. Sang Raja amat cemas dan menggigil ketakutan. “Tolooong...! Tolooong...! Bajuku robek!” jerit sang Raja ketakutan. Tetapi, jeritan tersebut tak ada yang menghiraukan. Tak seorang pun menghampiri sang Raja untuk menolongnya.

Dalam keadaan panik, tiba-tiba muncul seorang anak laki-laki kecil menghampiri sang Raja. “Percuma saja Temasik dipagar betis dengan manusia, sampai habis penduduk Temasik ini, serangan ikan Todak tidak dapat dikalahkan,” kata anak kecil itu mengingatkan. Mendengar suara anak kecil yang datang tiba-tiba itu, sang Raja segera bertanya: “Hei, budak! Siapakah engkau ini, dari mana asalmu hingga beraninya engkau menasihatiku?” tanya sang Raja dengan nada kesal.

Dengan santun, anak kecil itu menjelaskan dirinya: “Ampun, wahai Baginda Raja, hamba bernama Kabil. Hamba datang dari Bintan Penaungan,” jelas Kabil seraya menyembah. “Hamba hidup di pinggir laut, dan hamba mengenal sifat ikan Todak. Ikan Todak tidak dapat dilumpuhkan dengan betis manusia, melainkan dengan batang pisang. Apabila Sang Raja mengizinkan, hamba mohon agar Temasik dipagari dengan batang pisang,” kata Kabil setengah memohon.

“Batang pisang? Untuk Apa?,” tanya sang Raja dengan heran. “Jika kita menggunakan batang pisang sebagai perisai di sepanjang pantai, maka paruh ikan Todak itu akan tertancap pada batang pisang. Pada saat itulah, para penduduk menggunakan kesempatan untuk membunuh ikan-ikan Todak itu,” jelas Kabil pada sang Raja. Tanpa berpikir panjang, sang Raja bertitah kepada panglima dan rakyatnya, “Wahai sekalian panglima dan rakyatku sekalian, angkutlah batang pisang sebanyak-banyaknya, lalu pagari negeri kita ini dengan batang pisang!” Mendengar titah sang Raja, seluruh panglima dan penduduk yang ada di tempat kejadian itu segera mencari batang pisang ke kebun-kebun pisang. Setelah mendapat banyak batang pisang, mereka pun membawanya ke pantai. Tak lama kemudian Temasik berubah menjadi negeri berpagar batang pisang. Ikan-ikan Todak yang sedang mengamuk itu tersangkut di batang pisang, sehingga menggelepar-gelepar tak berdaya. Penduduk pun dengan mudah membunuhnya dan kemudian mengambilnya untuk dimakan dagingnya.

Rakyat negeri Temasik pun bersuka ria, karena terlepas dari malapetaka. Sebagai tanda berakhirnya kesedihan itu, maka dibuatlah pantun ikan Todak:
  • Temasik dilanggar Todak
  • Todak melanggar batang pisang
  • Orang tua berperangai budak
  • Seperti aur ditarik sungsang
Namun, di tengah suasana gembira tersebut, para pembesar istana justru berpikir lain. Mereka menjadi cemas dan takut kalau anak kecil itu akan merampas negeri Temasik. Merasa terancam, para pembesar istana menghadap sang Raja. “Ampun, Baginda Raja! Jika si Kabil tidak kita singkirkan, tidak mustahil suatu hari anak itu akan menguasai kita dan akan merampas negeri Temasik ini,” kata salah satu pembesar istana mempengaruhi. “Benar Baginda, selagi kecil dia sudah pintar, hingga sanggup mengalahkan ikan Todak, apalagi sudah besar kelak,” tambah pembesar istana yang lainnya. “Aku setuju, tapi kalian harus ingat, si Kabil ini anak pintar. Jika kita tidak membuanganya jauh-jauh, dia pasti akan kembali lagi ke negeri ini. Maka sebaiknya masukkan saja anak itu ke dalam kurungan baja, lilitkan dengan rantai besi, lalu tenggelamkan di tengah laut,” titah sang Raja kepada pembesar istana tersebut.

Keesokan harinya, Kabil pun ditangkap, kemudian dimasukkan ke dalam kurungan baja, dikunci dan diikat dengan rantai besi, lalu dinaikan ke atas perahu. Dengan dikawal sang Raja dan beberapa pengawal istana, berangkatlah mereka ke perairan Pulau Segantang Lada, tempat dimana Kabil akan ditenggelamkan. Tak berapa lama, mereka pun sampai di tempat tujuan. “Ampun Baginda Raja! Kita sudah sampai di Perairan Pulau Segantang Lada!” lapor seorang pengawal kepada Raja. “Tenggelamkan anak kecil itu!” perintah sang Raja. Namun, sebelum ditenggelamkan, Kabil bertanya kepada sang Raja. “Beginikah balasan Baginda Raja kepada hamba? Tidakkah ada jalan lain yang lebih baik untuk menghindari kematian ini? “Baginda Raja.....hamba belum rela mati muda,” ratap Kabil dari dalam kurungan.

Sang Raja hanya bergeming mendengar ratapan Kabil. Setelah itu diperintahkannya pengawal istana untuk segera menenggelamkan kurungan yang berisi Kabil itu. “Byuuurr....byuuurr....byuuur....” terdengar bunyi suara air ketika kurungan diceburkan ke dalam laut di karang Kepala Sambu. Tak lama kemudian, Kabil pun mati dalam keadaan yang mengenaskan, setelah ia baru saja berjasa menyelamatkan nyawa penduduk negeri Temasik.

Sejak peristiwa mengenaskan itu, sampai saat ini, suara pusar arus mendesah, “Byuuurr ... sssh ... byuuur ....”, seolah menyimpan perasaan sedih yang menyayat. Ombak yang bertemu arus pasang sangatlah ganas, seperti orang yang meronta-ronta. Oleh karena itu, para pelaut dan nahkoda kapal yang melintasi gugusan pulau tersebut selalu menghindari karang berbahaya di perairan Sambu ini untuk menjaga keselamatan penumpangnya. Peninggalan Legenda Batu Rantai ini berada di antara gugusan Pulau Sambu dan Batam, di perairan Riau, Indonesia.

Senin, 20 Juni 2016

Legenda Putri Kandita


PUTRI KANDITA CERITA RAKYAT
Mereka kemudian bersekongkol untuk menyingkirkan Putri Kandita dan ibunya dari istana Pakuan Pajajaran. Bagaimanakah nasib Putri Kandita selanjutnya? Ikuti kisahnya dalam cerita Putri Kandita berikut ini.

Alkisah, di daerah Pakwan (kini Kota Bogor), Jawa Barat, tersebutlah seorang raja bernama Sri Baduga Maharaja atau Prabu Siliwangi yang bertahta di Kerajaan Pakuan Pajajaran. Ia adalah raja yang arif dan bijaksana. Sang Prabu juga mempunyai seorang permaisuri yang cantik jelita dan beberapa selir yang cantik-cantik. Dari hasil perkawinannya dengan sang permaisuri lahir seorang putri yang bernama Putri Kandita.

Putri Kandita memiliki paras yang cantik melebihi kecantikan ibunya. Ia merupakan putri kesayangan Prabu Siliwangi. Ketika ia mulai dewasa, sifat arif dan bijaksana seperti yang dimiliki oleh sang ayah mulai muncul pada dirinya. Tidak mengherankan jika Prabu Siliwangi bermaksud mencalonkan Putri Kandita sebagai penggantinya kelak. Namun, rencana tersebut ternyata tidak disukai oleh para selir dan putra-putrinya yang lain. Oleh karena itu, mereka pun bersekongkol untuk mengusir Putri Kandita dan ibunya dari istana.

Suatu malam, para selir Prabu Siliwangi dan putra-putri mereka mengadakan pertemuan rahasia di dalam istana.

“Bagaimana cara menyingkirkan Putri Kandita dan permaisuri dari istana ini tanpa sepengetahuan Prabu?” tanya salah seorang selir.
“Kita harus berhati-hati karena jika Prabu mengetahui rencana ini, maka kita semua akan binasa,” ujar selir yang lain.

Sejenak, suasana pertemuan itu menjadi hening. Semuanya sedang berpikir keras untuk mencari cara yang paling tepat agar rencana mereka dapat terlaksana tanpa sepengetahuan Prabu Siliwangi.

“Sekarang aku tahu caranya,” sahut seorang selir yang lain memecah suasana keheningan.
“Apakah caramu itu?” tanya semua peserta rapat serentak.
“Aku mempunyai kenalan seorang dukun yang terkenal dengan kesaktian ilmu hitamnya. Dukun itu pasti mau membantu kita jika kita memberinya upah yang besar,” jawab selir itu.

Semua peserta rapat setuju dengan cara tersebut. Pada esok hari, para selir mengutus seorang dayang-dayang istana untuk menemui dukun itu di gubuknya di sebuah desa yang letaknya cukup jauh dari istana. Setelah menjelaskan maksud kedatangannya, utusan itu kemudian menyerahkan sejumlah keping uang logam emas kepada sang dukun. Tanpa berpikir panjang, sang dukun pun langsung menyanggupi permintaan para selir tersebut.

Setelah utusan selir itu kembali ke istana, sang dukun segera melaksanakan tugasnya. Dengan ilmu yang hitam dimiliki, dukun itu menyihir Putri Kandita dan ibunya dengan penyakit kusta sehingga sekujur tubuh mereka yang semula mulus dan bersih, timbul luka borok dan mengeluarkan bau tidak sedap. Prabu Siliwingi heran melihat penyakit borok itu tiba-tiba menyerang putri dan permaisurinya secara bersamaan. Ia pun segera mengundang para tabib untuk mengobati penyakit tersebut.

Para tabib dari berbagai negeri sudah didatangkan, namun tak seorang pun yang mampu menyembuhkan penyakit Putri Kandita dan sang permaisuri. Bahkan, penyakit sang permaisuri semakin hari semakin parah dan menyebarkan bau busuk yang sangat menyengat. Tubuhnya pun semakin lemah karena tidak mau makan dan minum. Selang beberapa hari kemudian, sang permaisuri menghembuskan nafas terakhirnya.

Kepergian sang permaisuri benar-benar meninggalkan luka yang sangat dalam bagi seluruh isi istana, khususnya Prabu Siliwingi. Sejak itu, ia selalu duduk termenung seorang diri. Satu-satunya harapan yang dapat mengobati kesedihannya adalah Putri Kandita. Namun harapan itu hanya tinggal harapan karena penyakit sang putri tak kunjung sembuh. Keadaan itu pun tidak disia-siakan oleh para selir dan putra-putrinya. Mereka bersepakat untuk menghasud Prabu Siliwangi agar segera mengusir Putri Kandita dari istana.

“Ampun, Baginda Prabu! Izinkanlah Hamba untuk menyampaikan sebuah saran kepada Baginda,” pinta seorang selir.
“Apakah saranmu itu, wahai selirku? Katakanlah,” jawab Prabu Siliwingi.
“Bagini Baginda. Kita semua sudah tahu bahwa keadaan penyakit Putri Kandita saat ini semakin parah dan sulit untuk disembuhkan. Jika sang putri dibiarkan terus tinggal di istana, Hamba khawatir penyakitnya akan membawa malapetaka bagi negeri ini,” hasud seorang seli.

Mulanya, Prabu Siliwangi merasa berat untuk menerima saran itu karena begitu sayangnya kepada Putri Kandita. Namun karena para selir terus mendesaknya, maka dengan berat hati ia terpaksa mengusir Putri Kandita dari istana. Dengan hati hancur, Putri Kandita pun meninggalkan istana melalui pintu belakang istana. Ia berjalan menuruti ke mana kakinya melangkah tanpa arah dan tujuan yang pasti. Setelah berhari-hari berjalan, Putri Kandita tiba di pantai selatan. putri Prabu Siliwingi yang malang itu bingung harus berjalan ke mana lagi. Di hadapannya terbentang samudera yang luas dan dalam. Tidak mungkin pula ia kembali ke istana.

“Ah, aku letih sekali. Lebih baik aku beristirahat dulu di sini,” keluh Putri Kandita seraya merebahkan tubuhnya di atas sebuah batu karang.

Sang Putri tampak begitu kelelahan sehingga dalam beberapa saat saja ia langsung tertidur. Dalam tidurnya, ia mendengar sebuah suara yang menegurnya.

“Wahai, Putri Kandita! Jika kamu ingin sembuh dari penyakitmu, berceburlah ke dalam lautan ini! Niscaya kulitmu akan pulih seperti sediakala,” ujar suara itu.

Putri Kandita pun cepat-cepat bangun setelah mendengar suara itu.
“Apakah aku bermimpi?” gumamnya sambil mengusap-usap matanya tiga kali.
Setelah itu, sang Putri mengamati sekelilingnya, namun tak seorang pun yang dilihatnya.
“Aku mendengar suara itu dengan sangat jelas. Tetapi kenapa tidak ada orang di sekitar sini? Wah, jangan-jangan ini wangsit,” pikirnya.

Meyakini suara itu sebagai sebuah wangsit, Putri Kandita pun menceburkan diri ke laut. Sungguh ajaib! Saat menyentuh air, seluruh tubuhnya yang dihinggapi penyakit kusta berangsur-angsur hilang hingga akhirnya kembali menjadi halus dan bersih seperti sediakala. Tidak hanya itu, putri kesayangan Prabu Siliwingi itu juga menjadi putri yang sakti mandraguna.

Meskipun telah sembuh dari penyakitnya, Putri Kandita enggan untuk kembali ke istana. Ia lebih memilih untuk menetap di pantai sebelah selatan wilayah Pakuan Pajajaran itu. Sejak menetap di sana, ia dikenal luas ke berbagai kerajaan yang ada di Pulau Jawa sebagai putri yang cantik dan sakti. Para pangeran dari berbagai kerajaan pun berdatangan untuk melamarnya. Menghadapi para pelamar tersebut, Putri Kandita mengajukan sebuah syarat yaitu dirinya bersedia dipersunting asalkan mereka sanggup mengalahkan kesaktiannya, termasuk bertempur di atas gelombang laut yang ada di selatan Pulau Jawa. Namun, jika kalah adu kesaktian itu, maka mereka harus menjadi pengikut Putri Kandita.

Dari sekian banyak pangeran yang beradu kesaktian dengan Putri Kandita, tak seorang pun dari mereka yang mampu mengalahkan kesaktian sang Putri. Dengan demikian, para pelamar tersebut akhirnya menjadi pengikut Putri Kandita. Sejak itulah, Putri Kandita dikenal sebagai Ratu Penguasa Laut Selatan Pulau Jawa